SARASEHAN KEWIRAUSAHAAN SOSIAL BAGI UMUM DAN SUKARELAWAN PMI

Satu misi kampoeng Relawan adalah mewujudkan Kewirausahaan Sosial di kalangan sukarelawan PMI. Implementasinya adalah menyelenggarakan Sarasehan Kewirausahaan Sosial dalam kegiatan KBN 2014 di Ruang Theatre STIKes Muhammadiyah Gombong pada Jumat, 15 Agustus 2014 yang akan menghadirkan para pembicara kompeten di bidangnya.

KARYA BAKTI UNTUK NEGERI: KOPDAR ALA KAMPOENG RELAWAN - BAGIAN II

Silaturahmi sangat dianjurkan oleh agama, khususnya Islam. Selain akan memperpanjang umum, juga membawa rejeki. Karya Bakti untuk Negeri (KBN) 2014 di Kebumen oleh Komunitas Sosial Media Kampoeng Relawan akan menjadi ajang silaturahmi sukarelawan PMI se Indonesia yang dirancang membawa banyak nilai tambah.

KARYA BAKTI UNTUK NEGERI: KOPDAR ALA KAMPOENG RELAWAN - BAGIAN I

Sebagai implementasi tujuan berdirinya Komunitas Sosial Media Sukarelawan PMI Kampoeng Relawan yaitu menguatkan upaya untuk kebaikan dan perbaikan organisasi PMI, komunitas yang telah memberi warna khusus bagi PMI masa depan ini akan menyelanggarakan satu kegiatan bersamaan perayaan Idul Fitri 1435H dan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI ke 69 tahun 2014

LOMBA KREATIVITAS BAGI SUKARELAWAN REMAJA PMI (PMR) MADYA

Lomba Kreativitas bagi PMR Madya setingkat SMP/MTs ini dimaksudkan agar memberi nuansa yang lebih luas dan membuka wawasan baru bagi para Pembina Pangkalan PMR Madya tentang beragam potensi kreatif anggota PMI yang sangat mungkin akan memajukan Pangkalan dan anggotanya

LOMBA KREATIVITAS BAGI PMR MULA SETINGKAT SD

Salah satu cara mengenalkan kegiatan Kepalangmerahan di lingkungan sekolah atau madrasah setingkat SD dan MI adalah menghadirkan pola pembinaan PMR Mula yang cakupan kegiatannya lebih luas dan variatif untuk menguatkan kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah atau Dokter Kecil.

09/05/14

Surat Terbuka untuk Saudara Anies Baswedan

Foto: gppgling.

Yth. Sdr. Anies Baswedan.

Saya tak kenal anda secara pribadi, tapi cukup dari perjalanan baik di dunia nyata maupun maya. Dan saya kenal cukup baik satu orang yang saya yakin banyak memberi warna pada kehidupan dan cara berpikir anda. Beliau adalah Pakde Koesnadi Hardjasoemantri, begitu kami para generasi penerus eks Tentara Pelajar memanggil namanya.

Sepanjang anda mengikutsertakan diri dan menyatakan bahwa konvensi dalam menjaring pemimpin untuk Indonesia masa depan melalui Partai Demokrat, saya memang memperhatikan dengan saksama sebagian besar langkah yang anda lakukan.
1.     Pertama, anda selalu menekankan cara berpikir positif. Cara ini jauh lebih berarti dibanding segala bentuk promosi lewat media apapun.
2.     Kedua, anda selalu menekankan pentingnya “membayar janji kemerdekaan”. Sementara itu, tak ada calon lain dari partai atau pihak manapun yang melakukannya. Dari sini, saya menilai anda mundur satu langkah tapi maju seribu langkah ke depan.
3.     Ketiga, anda selalu menekankan pentingnya makna kebersamaan dalam segala perkara menyangkut kepentingan orang banyak. Gotong royong, ihlas dan mandiri itu yang saya tangkap dari pola Gerakan Indonesia Mengajar maupun organisasi relawan Turun Tangan.
4.     Keempat, anda senantiasa mengedepankan orang muda dan para terdidik. Ini modal besar yang tiada banding dengan potensi kekuatan manapun.
5.     Kelima, anda memberi solusi atas permasalahan yang mengemuka dan menjadi sumber-sumber kegelisahan kebanyakan masyarakat Indonesia dengan cara dan bahasa cukup sederhana yang relatif mudah ditangkap artinya oleh segala lapis sosial masyarakat Indonesia.

Dari lima hal di atas, saya percaya anda akan mampu memimpin Indonesia untuk meletakkan kembali dasar-dasar perikehidupan kebangsaan Indonesia sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri Republik Indonesia.

Mungkin, jika anda kelak dipercaya memimpin negeri kita untuk masa 10 tahun ke depan, tidak semua “janji kemerdekaan” dapat dilunasi. Tapi saya sangat yakin kalau anda akan meletakkan fondasi yang sangat kuat untuk memperbaiki 5 hal berikut:
a) Integritas nasional.
b) Mengembalikan cita-cita Republik Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum dan keadilan sosial.
c)  Mengendalikan aset-aset nasional dari berbagai sumber.
d)Menempatkan kembali posisi Republik Indonesia dalam kancah pergaulan internasional.
e) Menata kembali organisasi TNI dan Polri.

Jika anda belum dapat memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia pada periode sekarang, selaku tetua para suka relawan Palang Merah Indonesia (PMI), kami berharap anda dapat menerima tawaran untuk dicalonkan sebagai Ketua Umum PMI Pusat periode 2014 – 2019. Juga menjadi penasihat bagi Himpunan Perajin Anyaman Indonesia (Hipando).

Demikian surat terbuka ini.
Kebumen, 9 Mei 2014

Saya;
   ttd
   Toto Karyanto 

08/04/14

Soal Memenangkan Indonesia: Mau Urun Angan atau Turun Tangan?

cropping dari foto dari foto di situs : http://aniesbaswedan.com/


Oleh : Anies Baswedan

Pengantar saya: 

Ketika semakin banyak orang pesimis dengan politik dan politisi karena maraknya kasus korupsi dan tindak asusila dilakukan oleh mereka yang membuat negeri ini semakin mendekat dengan jurang kehinaan, Anies Baswedan memberi gambaran lain. Memang ada baiknya direnungkan dan dipahami maknanya “Ayahmu, Ibumu tidak membiarkan dan tak pernah jadi bagian yang membuat Republik ini keropos. Di saat orang berduit membayar dukungan, Ayahmu, Ibumu tak menjual dukungan. Ayah-ibumu membantu orang-orang baik dengan tanpa dibayar. Harga diri Ayah-Ibumu tidak bisa dirupiahkan!”. 


Sekali lagi, ini hanya berlaku untuk orang yang jelas baik. Bukan untuk para penjual negara dan agama. Dan bukan pula untuk yang telah menamatkan RUU Lambang maupun menghambat #RUUKepalangmerahan . Relawan PMI tak hanya urun angan, karena telah berusaha maksimal melakukan upaya beradab dan berlandaskan prinsip dasar kemanusiaan.

***



Indonesia harus diurus oleh orang baik: bersih dan kompeten. Republik ini didirikan oleh para pemberani. Kaum terdidik yang sudah selesai dengan dirinya. Efeknya dahsyat. Bung Karno dan generasinya membuat sebangsa bergerak. Semua merasa ikut punya Indonesia. Semua iuran tanpa syarat demi tegaknya bangsa merdeka, berdaulat. Ada yang iuran tenaga, pikiran, uang, barang dan termasuk iuran nyawa. Tapi merdeka itu bukan cuma soal menggulung kolonialisme, merdeka adalah juga soal menggelar kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kini pada siapa Republik ini akan dititipkan untuk diurus?


Besok kita akan menentukan. Semua yang terpilih dalam Pemilihan Umum ini akan mengatasnamakan kita semua 24 jam sehari, 7 hari seminggu selama 5 tahun ke depan. Semua perkataan, perbuatan yang dilakukan adalah atas nama kita semua. Semua Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang dibuatnya akan mengikat kita semua.
Di saat tantangan bangsa ini masih banyak yang basic seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, transportasi, atau energi maka apapun partai-nya, tantangan yang harus dijawab sama. Di saat hambatan terbesar negeri ini adalah korupsi, dan hulunya korupsi adalah urusan kekuasaan maka apapun partainya akan berhadapan dengan otot kokoh koruptor yang sama. 

Pemilu ini bukan soal warna partai. Ini soal orang bermasalah dan tak bermasalah. Orang bermasalah ada di berbagai partai. Begitu juga orang baik tersebar di semua partai. Pemilu kali ini harus jadi ajang kompetisi orang tak bermasalah, orang baik lawan orang bermasalah. 
Kita harus memastikan bahwa orang yang terpilih akan hadir untuk mengurus bukan menguras negara. Ini Pemilu ke-4 di era demokrasi, sudah saatnya jadi ajang kebangkitan wong waras, kebangkitan orang bersih, dan jadi penghabisan orang bermasalah. 

Indonesia membutuhkan kemenangan orang baik. Kita perlu orang bersih dan kompeten berbondong-bondong menang dalam pemilihan umum. Persyaratan utama bagi orang-orang baik untuk kalah dan tumbang dalam pemilu adalah orang-orang baik lainya hanya menonton dan tak membantu. 

Indonesia kini penuh dengan penonton: ingin orang baik menang di Pemilu, ingin Indonesia jadi lebih baik tapi hanya mau iuran harap, urun angan. Ada keengganan kolektif untuk terlibat, untuk membantu.

Keengganan dan skeptisisme itu sering dilandasi pandangan: buat apa membantu toh orang-orang baik justru terjerat korupsi. Ini seperti urusan sepatu kotor. Buat apa membersihkan sepatu, toh bisa terkotori lagi. Tapi kalau dibersihkan rutin, dipakai dengan baik, dijaga dari cipratan kotor maka sepatu itu akan aman, akan bersih. Kalau pun terkotori,  tugas kita adalah memastikan bahwa sepatu itu rutin dibersihkan. 

Di Republik ini, tugas kita adalah lima tahun sekali membersihkan pengurus Indonesia dan mengisinya dengan orang-orang tak bermasalah. Kalaupun ada yang terkena masalah, biar diganjar hukuman dan kita ganti. Lalu tiap 5 tahun kita “kirim” orang baik lagi. 
Sejak kapan kita jadi bangsa yang suka putus asa? Tugas kita adalah mensuplai orang baik terus menerus. Kita harus jaga stamina, perjalanan bangsa ini masih amat panjang dan stok orang baik di Republik ini masih amat banyak. Tak ada alasan untuk pamer keluh kesah dan “nglokro”. 
Kita bersyukur saat melihat ada orang baik mau repot-repot masuk politik. Lihat bermunculan orang-orang baik yang terpilih jadi gubernur, bupati, walikota atau anggota dewan perwakilan.Makin panjang deretan nama orang bersih dan kompeten, orang baik yang terpanggil, mau turun tangan. Tetapi mereka semua hanya bisa menang, memegang otoritas jika orang baik lainnya bersedia untuk terlibat dan membantu.

Permasalahan yang dihadapi begitu banyak orang baik yang jadi caleg adalah mereka cenderung dijauhi. Yang menjauhi sering justru lingkungan terdekatnya. Politik di Indonesia hari ini amat rendah nilainya di depan publik. Korupsi yang dilakukan oleh para politisi telah merendahkan makna politik dan politisi. 

Politik dan politisi tidak lagi dipandang sebagai arena perjuangan dan pejuang. Kerja politik dipandang sebagai mata pencaharian dan segalanya harus dirupiahkan. Para calon yang baik itu tergerus oleh opini bahwa semua calon itu sama: sekadar cari kuasa untuk menguras -bukan untuk mengurus- negeri. Orang baikpun makin sedikit yang mau turun tangan. Makin sedikit orang baik yg “siap” dituding sama dengan kelakuan para penguras negeri. 

Jika orang-orang baik hanya mau jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang akan mengatur penggunaan uang pajak kita? Keputusan soal kesehatan, pendidikan, perumahan atau tenaga kerja misalnya adalah keputusan politik. Di arena yang oleh publik dipandang rendah, kotor dan tak bernilai itulah keputusan tentang hajat hidup orang serepublik ini dibuat. Patutkah kita diamkan? 
Masih adakah caleg baik? Ya, Indonesia masih punya stok orang baik; orang bersih dan kompeten. Tapi mereka tidak akan bisa menang, mendapatkan otoritas untuk mengatasnamakan kita, untuk mewakili kita, jika kita semua tidak ikut membantu. Sekali lagi, korupsi dalam politik itu merajalela bukan semata-mata karena orang jahat jumlahnya banyak tetapi karena orang-orang baik memilih diam, mendiamkan dan bahkan menjauhi. 
Republik ini adalah milik kita semua. Bukan milik segelintir orang, apalagi orang-orang yang sanggup membayar siapa saja untuk berbuat semaunya.  Berhenti cuma urun angan. Harus mau turun tangan!

Tak semua orang harus ikut partai politik tapi saat pemilu jangan pernah diam, membiarkan orang-orang bermasalah melenggang tak ditantang, tak dihentikan. Pada saat pemilu, harus muncul kesadaran kolektif bahwa ini bukan upacara politik, ini kesempatan menempatkan orang baik jadi pengurus negeri.

Cari dan kenali orang baik dalam Daerah Pemilihan. Atau sekurang-kurangnya orang tak bermasalah. Jangan cari manusia sempurna, takkan ketemu. Cari orang bersih dan kompeten. Lihat track-recordnya, bukan cuma warna partainya. Dan anak-anak generasi baru sudah terlibat, contohnya www.orangbaik.org yang dibuat oleh anak-anak umur 25 tahunan untuk melihat track record semua caleg. Kalau perlu datangi caleg tersebut bukan untuk memberitahu akan mencoblos tapi beritahu bahwa siap untuk membantu untuk bisa menang. 

Bantu orang-orang tak bermasalah di sekitar kita yang terpanggil untuk ikut mengurus Republik, agar mereka bisa menang. Jangan pernah takut mendukung. Di era non-demokratis dulu, sikap mendiamkan dalam sebuah pemilu adalah sikap perlawanan; kini mendiamkan adalah sikap pembiaran atas status-quo. Bukan warna partainya, tapi warna track-recordnya. Ini adalah sikap yang melampaui warna partai; semangatnya adalah mengisi dengan orang baik.

Kini kita menyaksikan gelombang baru yang sedang bangkit. Generasi baru yang bergerak dan membantu karena percaya, ide dan integritas. Bukan generasi yang mau menjual dukungan karena rupiah. 

Pilihan untuk membantu orang baik di dalam Pemilu adalah pilihan sejarah. Hari ini mungkin nampak tak populer, masih nampak aneh jika ada kemauan untuk terlibat dan membantu para caleg tak bermasalah. 

Dunia bergerak ke arah perbaikan tata kelola yang baik (good governance). Korupsi tidak bisa langgeng, ia makin hari makin tergerus. Bayangkan suatu saat kelak, generasi anak-anak kita hidup di era baru dan bertanya: Ayah-ibu, di zaman politik Indonesia masih penuh korupsi, apakah Ayah-Ibu ikut korupsi, atau diam, atau ikut melawan?

Saat itulah pilihan sejarah tadi menemukan jawabnya: jika hari ini Anda mau berbuat, mau terlibat maka sekurang-kurangnya Anda bisa menjawab dengan rasa bangga. “Ayahmu, Ibumu tidak membiarkan dan tak pernah jadi bagian yang membuat Republik ini keropos. Di saat orang berduit membayar dukungan, Ayahmu, Ibumu tak menjual dukungan. Ayah-ibumu membantu orang-orang baik dengan tanpa dibayar. Harga diri Ayah-Ibumu tidak bisa dirupiahkan!” 

Izinkan anak-anak kita bangga saat sadar bahwa mereka mewarisi negeri yang Ayahnya, Ibunya ikut meninggikuatkan. Di saat ada kesempatan mengubah wajah kita sendiri, wajah Indonesia kita, maka kita tak cuma diam. Kita pilih ikut bersihkan Indonesia, jadikan orang baik sebagai pemegang amanah di negeri kita. 

Anies Baswedan di sini. 

20/03/14

Indonesia Bicara Indonesia - Bagian Satu


Musibah hilangnya pesawat komersial Malaysian Air MH370 dan pencalonan Jokowi sebagai presiden hampir menyita seluruh perhatian publik melebihi porsi berita seputar kampanye pemilu legislatif 2014.  Tentang pesawat hilang, banyak spekulasi muncul dari beragam kalangan. Dari orang biasa sampai mantan orang-orang intelejen. Tak jauh beda dengan pencapresan Jokowi yang masih mengandung sejumlah kontroversi. Media sosial jadi ajang panas kedua berita itu.

Indonesia hari ini tengah menghadapi sejumlah tantangan besar menyangkut keutuhan negeri yang kian hari bukan bertambah baik. Justru sebaliknya, masalah ketahanan nasional masih dibayangi isu perpecahan karena beragam sebab. Pertama, praktik politik sektarian yang memunculkan sejumlah daerah pemekaran tanpa pertimbangan strategis yang matang. Kecenderungan ini ditengara hanya merupakan penyaluran syahwat politik orang-orang yang hanya ingin berkuasa. Sehingga mereka bisa jadi raja kecil di wilayah itu. Biasanya isu lokal yang diangkat adalah efektivitas daya jangkau ke pusat pemerintahan. Atau kedekatan budaya masyarakat lokal yang ingin dibawa serta dalam isu pemekaran itu. 


Hal ini karena evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah menunjukkan bahwa dari 217 daerah otonomi baru (DOB), 80% di antaranya berkinerja buruk dan tidak mampu menghimpun pendapatan asli daerah (PAD).  Beberapa DOB tersebut bahkan dinilai gagal. Daerah-daerah itu hanya sibuk membentuk pemerintahan dan berbelanja peralatan serta bergantung pada pada pendanaan dari transfer pemerintah pusat. Tetapi pada saat bersamaan mereka mengabaikan peningkatan pelayanan masyarakat.

Pendulum ternyata berat sebelah. Otonomi daerah selama sepuluhtahun lebih ternyata sering mengalami defisit serta penuh paradoks dan anomali dalam kebijakan maupun implementasi. Selain nihilnya aspek kesejahteraan sebagai parameter dan output final otonomi, semakin tampak kelihatan wajah bopengnya daripada peningkatan kesejahteraan masyarakat setelah diberlakukannya otonomi daerah.

Sebut saja sejumlah di antaranya, seperti maraknya kasus korupsi, banyaknya perda yang tidak kondusif bagi iklim investasi dan pemerintah daerah yang cenderung menggunakan “segala cara” untuk menggenjot PAD, perubahan pelayanan publik yang tak signifikan, suburnya oligarki elite politik di tingkat lokal, serta rendahnya komitmen elite daerah dalam mewujudkan kesejahteraan jelas menunjukkan melencengnya arah desentralisasi. Kebijakan dan Implementasi Kebijakan otonomi daerah yang diatur undang-undang memang merupakan langkah pembaruan besar dalam sejarah desentralisasi dan pemerintahan daerah di Indonesia. Tetapi, dari segi kebijakan maupun aspek implementasi, UU tersebut memiliki sejumlah kelemahan, yang mengakibatkan seringnya terjadi irasionalisasi politik dalam pelaksanaannya.

Ketahanan nasional di bidang ekonomi memang merupakan indikator yang sangat penting dalam memajukan kesejahteraan umum. Praktik politik sektarian yang terjadi di berbagai lini dan sisi kehidupan membuat banyak upaya mencapai derajat kemakmuran rakyat berjalan tertatih-tatih. Pihak yang memiliki kedekatan hubungan dengan penguasa lokal lebih banyak diuntungkan dibanding masyarakat umum yang jumlahnya jauh lebih besar. Meski telah menerapkan mekanisme lelang online misalnya, sejumlah proyek yang menguras sisa APBD yang telah dikuras oleh alokasi belanja rutin antara 50 - 70% dinikmati oleh sekte atau klan penguasa lokal. Praktik ini telah menjadi rahasia umum dan masyarakat pada umumnya tak bisa berbuat banyak untuk mengoreksinya.

Kolaborasi antara penguasa lokal, politisi sektarian dan pengusahaan jejadian (dalam bentuk jual beli stempel atau nama perusahaan). Ada beberapa pos anggaran yang menjadi incaran utama kelompok ini. Proyek-proyek pembangunan gedung pemerintahan dan sarana fisik, hibah atau bantuan sosial serta biaya perjalanan dinas. Banyak kasus korupsi Bupati Kebumen misalnya yang dilakukan di awal masa pasca reformasi dan tidak ditindak-lanjuti dengan alasan klasikal kurang bukti formal. Sementara itu, dana bantuan banjir tahun 2000 dari sebuah lembaga kemanusiaan luar negeri yang pernah menjadi bahan gurauan para relawan di lapangan tak jelas ujung pangkalnya. Baru pada kasus korupsi pembangunan ruas jalan Soka - Klirong   yang menyeret tersangka Plt. Kepala Dinas PU Kabupaten Kebumen diteruskan pada tahap penyidikan setelah ada audit BPK. 

Kasus di atas hanya sebuah sisi gelap yang tengah berusaha diterangkan kepada publik tentang kolaborasi praktik politik sektarian yang terjadi di sebuah wilayah kecil dan masih berada di empat besar kelompok daerah miskin di satu provinsi pada 2010.  Dengan tingkat pendapatan asli daerah yang sekitar 6-7%, target ambisius pengurangan kemiskinan menjadi 15,7% di akhir masa jabatan bupati sekarang (2015) dari 22,71 % (2010); 21,37% (2011) dan pada tahun 2012 sebesar 20,03 % ibarat mengarungi samudera raya dengan ban bekas. Besar harap dari pada usaha dan pencapaiannya. Apalagi setelah terjadinya penggrebekan terduga teroris di Kecamatan Kutowinangun beberapa waktu lalu. 

Integritas wilayah dan kesejahteraan ekonomi adalah dua tantangan besar bersamaan waktu berlakunya AFTA (Asean Free Trade Area) 2015 bukan sebuah pekerjaan ringan yang bisa diselesaikan sekejap baik dengan atau tanpa pencitraan tokoh yang kelak akan memimpin Indonesia. Entah Joko Widodo ( mobil murah dan proyek gagal Esemka Jokowi) yang dicitrakan dengan gaya "demokrasi jalanan" atau lebih dikenal dengan istilah blusukan (jadi ingat proyek Dara Putih (Ratih TV) di masa pemerintahan Rustriningsih yang saat itu dijuluki Srikandi Indonesia oleh Megawati SP). Siapapun dia, masalah Indonesia adalah kompleks. 

18/03/14

Diantara yang Kontroversial

Foto-googling.

Selama ini saya tak begitu tertarik untuk menulis topik yang tengah digemari (trending articles). Mungkin sekadar selera atau tak punya nyali beradu argumentasi. Entahlah. Apalagi soal politik praktis atau sebutan sejenisnya. Kalaupun harus menuliskan sesuatu yang "berbau", apalagi mengandung unsur politik, semata-mata merupakan dorongan hati. Tentang isi atau kualitas, biarlah mengalir dalam proses dialektika.

Pemilu 2014 mungkin akan menjadi ajang pertama menyalurkan hak kewarga-negaraan saya. Disebut mungkin karena ada sejumlah pengandaian. Seandainya akan memilih, bukan di arena pileg (pemilihan anggota legislatif) yang direncanakan akan berlangsung 9 April mendatang. Tidak ada satu caleg dari partai politik manapun yang mampu meyakinkan saya untuk mengubah sikap untuk memilih atau tidak memilih semua tanpa kecuali. Paling tidak sampai tulisan ini disusun. Alasannya ? Tak ada yang berani menjamin #RUUKepalangmerahan disahkan sebelum masa pakai anggota DPR RI 2009/2014 daluarsa.
Pengandaian berikutnya adalah jika pemilu presiden dan wakilnya jadi diselenggarakan tahun 2014. Dari jadwal berselang 3 bulan sejak pileg, 9 Juli 2014,  pilpres 2014 dibawah bayang-bayang kelabu akan dikudeta secara konstitusional oleh TNI. Sejak penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupasi, wibawa hukum di Indonesia sudah runtuh. Ini menguatkan argumen tentang ketidakberdayaan masyarakat sipil mengemban amanat reformasi melalui mekanisme demokrasi yang hasilnya justru kerusakan di segala lini dan sisi kehidupan kebangsaan Indonesia.

Berikutnya, seandainya TNI memang melakukan kudeta konstitusional dengan alasan perintah UUD 1945 dan berhasil serta masyarakat internasional melakukan tekanan bertubi-tubi agar segera dilakukan pemilihan umum ulang setahun berikutnya, TNI akan memberlakukan syarat dan ketentuan yang sangat ketat. Jelas situasi politik, perekonomian dan kehidupan umum menjadi semakin tidak menentu. Pengulangan peristiwa berdarah 1965 sangat terbuka. Bahkan bisa lebih buruk jika antar angkatan dalam TNI sendiri tidak kompak alias terpecah belah. Pemberontakan ada di mana-mana, pelanggaran HAM mengikutinya. Polri jelas kekuatan pertama yang dilemahkan. Dari sini saja, alur ceritanya tambah ramai dan sulit diprediksi. Lebih ramai lagi jika Amerika Serikat menempatkan sejumlah kapal induk dan memperkuat basis militernya di sekitar wilayah teritori Indonesia. Perang Dunia III ? Wallahu a'lam bissawab.


Berlebihan ? Bisa ya atau tidak. Yang jelas, arah demokrasi yang terjadi sekarang telah melenceng jauh dari amanat UUD 1945 yang menjadi legitimasi TNI untuk memberlakukan situasi dan tindakan militer di segenap wilayah negeri.  Analisis mantan KaBaIS, Soleman B Ponto, tidak bisa dianggap sepele oleh  siapapun yang masih menginginkan keberadaan Indonesia sebagai satu negara merdeka. Jadi, siapapun calon presiden  dalam pilpres 2014 perlu mempertimbangkan dengan saksama kemungkinan di atas. 
Tulisan ini dimuat juga di kompasiana.

14/03/14

AKU HARUS TURUN TANGAN - Episode Pintasan

Sofa bambu buatanku berusia 11 tahun.

Semula aku berhitung saja, tanpa baca dan tulis. Apalagi memecahkan masalah. Berhari-hari ragu ini menggelayut di benak. Aku memang masih tak percaya pada institusi yang orang-orang sebut sebagai partai politik sejak namaku terdaftar sebagai pemilih. Ketika itu hanya ada tiga kontestan dan semuanya hanya boneka mainan sang penguasa lalim yang jatuh karena kecongkakannya. Siapa lagi kalau bukan Soeharto yang mengangkat dirinya sejajar dengan Panglima Besar Soedirman, pejuang sejati Indonesia Merdeka.

Di dalam keluarga, kami dididik sebagai nasionalis karena kedua orangtua memang demikian. Soekarno adalah idola. Tapi sejak belajar ilmu ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta di kota perjuangan Yogyakarta, kutemukan idola baru yang sebenarnya pernah terbayangkan. Beliau itu Bung Hatta yang juga seorang nasionalis meski dibesarkan oleh keluarga Masyumi. Penggagas Siasat Ekonomi ini bukan singa podium seperti sejawatnya Soekarno yang terkenal di seantero jagad.

Bung Hatta adalah sosok sederhana, teguh pendirian dan lebih banyak berbuat dari pada berbicara. Konsep ko-operasi dalam Siasat Ekonomi yang digagasnya kini memang menjadi sebuah institusi negara yang mengurus kegiatan ekonomi masyarakat lapis bawah. Meski pernah diteruskan oleh sang menantu, Prof. Edi Swasono, arah pengembangan konsep ekonomi kerakyatan yang diterjemahkan oleh Prof. Mubyarto sebagai Ekonomi Pancasila kian menjauh dari akar atau roh Siasat Ekonomi. Kini, sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia sudah sangat liberal. Mungkin lebih liberal dari Amerika Serikat  yang acapkali disebut sebagai “biang”-nya.

Perjalanan mengikuti jejak sang maestro, Bung Hatta, bukan hanya dalam pemikiran. Tahun 1987 pernah berusaha mewujudkan di lingkungan Keluarga Besar ex Tentara Pelajar di Yogyakarta tapi kandas di tengah jalan karena tanpa pengalaman. Bermodal semangat para pelajar pejuang kemerdekaan RI saja kurang mumpuni. Merugi secara ekonomi dan sosial. Kondisi ini sempat membuatku menjauhkan diri dari pergaulan luas. Tapi mengarah proses kontemplasi yang tak pernah terbayangkan akan terjadi begitu cepat dan dahsyat.

Awal 1990-an, bangkit rasa percaya diri dan memulai langkah baru. Menanggalkan semua atribut dan berupaya jadi manusia baru sebagai perajin bambu. Banyak yang ternganga, dan satu dua orang mencibir. Satu diantaranya pernah terdengar langsung di telingaku. ”Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau hanya jadi tukang bambu”. Yah..status sosial perajin kala itu memang tak lebih baik dari buruh tani atau penarik becak yang tak perlu berpendidikan formal. Apalagi sampai tingkat universitas. Meski sangat menyakitkan perasaan, tapi langkahku tak mungkin berhenti sampai di sini hanya karena sebutan yang sebenarnya tak pernah diketahui maknanya oleh si penyebut. The show must go on. Maju terus pantang mundur!

Kesempatan emas mengenal lebih dalam tentang perbambuan datang dari Kantor Dinas Perindustrian di tempat tinggalku untuk mengikuti pelatihan manajemen kerajinan dan desain di Jakarta. Dari sini kesempatan berkembang semakin terbuka karena sempat berpameran di Jakarta Desain Center yang saat itu merupakan tempat pameran bergengsi. Untuk melengkapi kekurangan, kuajak perajin anyaman pandan Desa Grenggeng Karanganyar agar ikut memamerkan hasil karya mereka. Juga ketika kegiatan serupa dilakukan di Balai Kerajinan DKI di Jl. TB Simatupang Lebakbulus. Singkat kata, ada tembahan semangat dan keyakinan diri menekuni bidang ini.

Seritikat Pelatihan Manajemen Kerajinan dan Desain Bambu dari YPDKI-1990.



Mental berwirausaha  yang telah dibangun susah payah akhirnya tumbang oleh realita bahwa perlu dukungan lingkungan. Tambahan bekal pelatihan Pengembangan Motivasi Berwirausaha (Achievement Motivation Training-AMT) mestinya mampu menguatkan asa. Sayang sekali, pertahananku rapuh dan mendorong keinginan untuk menjadi “anak buah” terus menguat dengan semakin menipisnya kekuatan finansial. Ibarat bertinju, aku knock out dan minggir dari arena berwirausaha. Jakarta – Natuna – Banten adalah “tempat pelarianku” sebelum tugas kemanusiaan memuliakan orangtua memanggil kembali ke tanah lahir. Kebetulan ada informasi bahwa aku masih diberi kesempatan menyelesaikan pendidikan formal yang terbengkelai sekitar satu dasawarsa. Alhamdulillah aku mampu memberi kebanggaan terakhir kepada almarhum ayah yang dipanggil kembali ke haribaanNya dua minggu setelah hari wisudaku.       

25/01/14

PAHAMI KEJENGKELAN RELAWAN PMI


Kalau kita cermati berbagai komentar Relawan PMI di banyak media sosial dalam dua-tiga tahun terakhir nampak sekali nada kejengkelan yang berkepanjangan. Pertama jelas kepada pengurus di berbagai tingkat organisasi. Dan terakhir adalah kepada partai-partai politik yang telah "menghianati" amanat para pekerja kemanusiaan yang dalam menjalankan tugas-tugas bagi organisasi, negara maupun kemanusiaan universal acapkali dalam berhadapan dengan ancaman maut. Bahkan ada wacana untuk menguatkan sikap netral dalam Pemilu Legislatif 2014 yang akan berlangsung pada 9 April mendatang.

Netralitas atau kenetralan adalah satu dari  tujuh prinsip dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dan diadopsi dalam Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga PMI. Intinya, dalam menjalankan tugas kemanusiaan tidak boleh berpihak kepada siapapun. Dalam konteks penguatan wacana tadi, sikap netral dapat diartikan sebagai hal yang dalam istilah umum disebut golput (golongan putih) atau tidak memberikan suaranya kepada calon manapun. Ini dengan gamblang dapat dilihat dari gambar karikatur berikut :




dengan catatan yang cukup panjang :  Menjelang Pemilu Legislatif pada 9 April 2014, adalah kesadaran bagi kita sebagai anggota PMI untuk menjaga kenetralan, agar PMI tetap dihormati, dipercaya dan dihargai oleh semua pihak.

Mengingatkan:

Penggunaan yang tidak tepat yaitu penggunaan lambang yang tidak sebagaimana mestinya, baik oleh pihak yang berhak maupun pihak yang tidak berhak.
Pihak yang berhak (seperti anggota PMI) menggunakan fasilitas yang berlambang palang merah namun dimanfaatkan di luar tugas-tugas kepalangmerahan, kepentingan pribadi atau melakukan aktivitas yang bisa meruntuhkan kepercayaan dari berbagai pihak, baik dalam situasi konflik bersenjata maupun damai.

Mohon dipahami oleh semua karena ini demi kemanusiaan.

Dalam pernyataan sikap tertulis yang saya bacakan mewakili teman-teman Relawan PMI se Indonesia di depan dan diserahkan kepada Ketua DPR RI di Ruang Pleno Gedung Nusantara II, pada butir 9 disebutkan bahwa jika permintaan Relawan PMI ini tidak diindahkan sebagai cara paling beradab berpegang pada prinsip dasar kemanusiaan dan kesamaan, maka tak tertutup kemungkinan, jumlah perwakilan yang semula sekitar 500 akan dilipat-gandakan jadi 10.000 sampai sejuta Relawan PMI dari berbagai elemen. Artinya, meskipun tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang relevan, sebagai Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, Relawan PMI juga punya dan akan menggunakan hak kewarganegaraan tersebut. Sampai dengan pertengahan 2013, jumlah Relawan PMI se Indonesia yang telah diverifikasi keanggotaannya ada 2.150.000 orang lebih. Jumlah ini belum termasuk puluhan ribu relawan remaja yang telah memiliki hak pilih dan dalam pembinaan PMI di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.

Gencarnya penyebarluasan informasi, terutama melalui media sosial tentang urgensi pengesahan #RUUKepalangmerahan semakin hari kian mendapat simpati dan dukungan masyarakat luas. Karena itu, tak kurang dari 5 juta orang tengah bersiap diri menentukan pilihan bersikap netral dalam artian umum pada seri pemilu tahun 2014. Dan semakin banyak jumlah Relawan PMI yang siap pasang badan seandainya cara-cara beradab yang ditempuh selama ini dianggap angin lalu. 

Terlalu banyak contoh yang bisa diberikan untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa Relawan PMI tak pernah gentar menghadapi risiko maut sebesar apapun dari jaman ke jaman. Memang tidak semua, tapi mayoritas Relawan PMI yang berpegang teguh pada tujuan organisasi sebagai dapat dipastikan sebagai militan dalam pengertian umum. Apa artinya ? Di sinilah yang akan digambarkan sesuai judul tulisan di atas.

Seorang Tutur Priyanto yang bergabung sebagai anggota Tenaga Sukarela (TSR) PMI Kabupaten Bantul sekitar setahun sebelum Gempa Bumi yang berpusat di pantai Selatan Jogja berkekuatan 5,9 SR pada 27 Mei 2005 terjadi, adalah seorang mantan anggota Resimen Mahasiswa dan komandan Banser NU di wilayahnya. Dengan latar belakang itu, ia bukan orang yang asing dengan dunia kemiliteran dalam kadar tertentu. Ia juga tahu akan resiko ketika memutuskan naik ke rumah mBah Maridjan sang  juru kunci Gunung Merapi yang fenomenal itu untuk membujuk dan membawanya menjauh dari aliran lahar panas yang terus mengalir deras dari puncak gunung berapi teraktif di dunia tersebut. 

Almarhum Tutur Priyanto adalah satu dari ratusan, bahkan ribuan Relawan PMI militan yang sangat faham dengan segala risiko tugas dan konsistensi memelihara sikap sebagai suka relawan organisasi kemanusiaan yang menjalankan mandat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Karena kecintaan pada organisasi mendorong para relawan bersedia mempertaruhkan nyawanya. Realitas ini telah terjadi sejak jaman perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan sampai sekarang.

Karena itu, ketika sebagian anggota DPR RI yang tengah membahas RUU Lambang yang kemudian mengalami jalan buntu setelah tidak tercapai kesepakatan politik bertamasya ke Denmark dan Turki dengan alasan studi banding sikap relawan PMI masih menahan diri meski kian sulit melepas kejengkelan atas "kebodohan yang terpelihara" itu. Sebagaimana kita, masyarakat awam tahu, bahwa studi banding ke luar negeri lebih banyak menjadi ajabf wisata gratis tanpa maslahat. Menghamburkan uang rakyat untuk memuaskan syahwat pribadi di balik alasan politiknya. 

Kejengkelan Relawan PMI kian menjadi khususnya kepada Ketua DPR RI, Marzuki Alie, yang terus mengumbar janji akan mengawal dengan serius perjalanan  tapi terus berkelit saat dikonfirmasi tentang #RUUKepalangmerahan menjadi UU Kepalangmerahan. Sebagai manusia biasa dan Warga Negara Indonesia, Relawan PMI memiliki keterbatasan dalam memberikan toleransi waktu dan kesempatan kepada DPR RI agar bekerja dengan sungguh-sungguh setelah membuang waktu lebih dari satu dasawarsa membiarkan RUU Lambang yang diinisiasi Pemerintah mengalami jalan buntu. Akankah kejengkelan tadi berubah menjadi kemarahan massal ? Bukan hal yang mustahil.        

11/12/13

RUU Kepalangmerahan Bukan Sekadar Urusan Lambang - Bagian II

Repro Pos Kota 101213


Peristiwa tragis tabrakan antara tangki BBM milik Pertamina dan sebuah KRL di Pondok Betung Bintaro Jakarta Selatan, Senin 9 Desember 2013 siang, mungkin bukan lagi jadi bahan pembicaraan hangat/utama (trending topic) di media massa maupun media sosial (socmed) dalam beberapa hari ke depan. Apapun penyebabnya, baik kesalahan manusia atau karena faktor teknikal, peristiwa ini telah menimbulkan korban baik meninggal maupun cedera. Dan mereka itu adalah manusia-manusia yang tak pernah tahu akan jadi korban peristiwa kecelakaan yang diliput luas oleh media massa, khususnya TV dan dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk menebar pesona. Dalam bahasa awam, para penebar pesona ini selalu "pintar" memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Kondisi sebaliknya justru terjadi pada pihak penolong. Baik yang berasal dari unsur pemadam kebakaran maupun petugas pertolongan pertama, relawan PMI khususnya. Kedua unsur terdepan ini  boleh disebut telah melakukan "kontrak mati" dinilai dari kadar risiko dalam menjalankan tugasnya. Jika petugas pemadam kebakaran mendapat perlindungan dari instansinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)  atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Relawan PMI  tak mendapatkan perlindungan dari organisasinya Palang Merah Indonesia (PMI) karena kelalaian Pemerintah dan DPR RI yang tidak segera menindak-lanjuti ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 bagi Dinas Kesehatan militer (TNI) maupun Perhimpunan Nasional (PMI). Payung hukum yang ada saat ini yaitu Keputusan Presiden RIS No. 25 tahun 1950 tentang badan hukum PMI maupun UU No. 59 tahun 1968 tentang tanda perlindungan bersifat adhoc (sementara). 

Kelalaian ini, di jaman politik jadi pengeran sekarang, dimanfaatkan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang dikuatkan dengan SK Menteri Hukum dan HAM RI dengan menamakan diri Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) ingin mengambil alih semua peran dan posisi PMI dengan dalih mengada-ada. Dalih utama adalah menghembuskan isu lambang PMI yang ditafsirkan sepihak sebagai lambang yang mewakili agama non muslim. Memanipulasi Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas orang Indonesia dengan mengaitkan isi Piagam Jakarta 1945. Argumentasi mereka, baik secara nalar maupun konstitusional sebenarnya telah dipatahkan oleh fakta sejarah dan hukum nasional. 

Sekadar informasi saja (buat yang mau tahu tentang lambang PMI), lambang palang merah yang digunakan oleh PMI adalah mengacu pada lambang yang sama dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC). ICRC adalah organisasi bantuan kemanusiaan pertama di dunia yang gagasan maupun kegiatannya banyak diadposi oleh Komisi HAM PBB, organisasi-organisasi non pemerintah  (LSM) yang berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dan organisasi-organisasi bantuan kemanusiaan internasional lainnya yang banyak ditiru dan diikuti oleh organisasi serupa di Indonesia. 

Lambang palang merah pada ICRC berasal dari bendera negara Swiss. Jika warna dasar bendera negara Swiss adalah merah dengan tanda palang (persis tanda plus dalam matematika) yang ukuran panjang dan lebarnya sama berwarna putih. Maka, agar membedakan dengan bendera negara Swiss, lambang ICRC menggunakan warna dasar putih dengan tanda palang berwarna merah. Tanda ini telah digunakan sejak 1863 dan diadopsi oleh Indonesia sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh patugas kesehatan dan relawan kemanusiaan di wilayah Hindia Belanda ( selengkapnya di sini ). Tentang ICRC dapat dilihat di sini. Dari fakta sejarah tersebut, jelas sekali bahwa upaya mengganti lambang palang merah dengan bulan sabit merah semata-mata adalah persepsi politik sepihak dari sekelompok kecil orang yang tak mau tahu tentang kemaslahatan (kepentingan orang banyak) dan keindonesiaannya. Naudzubillahi min dzalik.


Pernyataan sikap Relawan PMI se Indonesia
       
Pernyataan Ketua DPR RI
Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.