Repro Pos Kota 101213 |
Peristiwa tragis tabrakan antara tangki BBM milik Pertamina dan sebuah KRL di Pondok Betung Bintaro Jakarta Selatan, Senin 9 Desember 2013 siang, mungkin bukan lagi jadi bahan pembicaraan hangat/utama (trending topic) di media massa maupun media sosial (socmed) dalam beberapa hari ke depan. Apapun penyebabnya, baik kesalahan manusia atau karena faktor teknikal, peristiwa ini telah menimbulkan korban baik meninggal maupun cedera. Dan mereka itu adalah manusia-manusia yang tak pernah tahu akan jadi korban peristiwa kecelakaan yang diliput luas oleh media massa, khususnya TV dan dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk menebar pesona. Dalam bahasa awam, para penebar pesona ini selalu "pintar" memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Kondisi sebaliknya justru terjadi pada pihak penolong. Baik yang berasal dari unsur pemadam kebakaran maupun petugas pertolongan pertama, relawan PMI khususnya. Kedua unsur terdepan ini boleh disebut telah melakukan "kontrak mati" dinilai dari kadar risiko dalam menjalankan tugasnya. Jika petugas pemadam kebakaran mendapat perlindungan dari instansinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Relawan PMI tak mendapatkan perlindungan dari organisasinya Palang Merah Indonesia (PMI) karena kelalaian Pemerintah dan DPR RI yang tidak segera menindak-lanjuti ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 bagi Dinas Kesehatan militer (TNI) maupun Perhimpunan Nasional (PMI). Payung hukum yang ada saat ini yaitu Keputusan Presiden RIS No. 25 tahun 1950 tentang badan hukum PMI maupun UU No. 59 tahun 1968 tentang tanda perlindungan bersifat adhoc (sementara).
Kelalaian ini, di jaman politik jadi pengeran sekarang, dimanfaatkan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang dikuatkan dengan SK Menteri Hukum dan HAM RI dengan menamakan diri Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) ingin mengambil alih semua peran dan posisi PMI dengan dalih mengada-ada. Dalih utama adalah menghembuskan isu lambang PMI yang ditafsirkan sepihak sebagai lambang yang mewakili agama non muslim. Memanipulasi Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas orang Indonesia dengan mengaitkan isi Piagam Jakarta 1945. Argumentasi mereka, baik secara nalar maupun konstitusional sebenarnya telah dipatahkan oleh fakta sejarah dan hukum nasional.
Sekadar informasi saja (buat yang mau tahu tentang lambang PMI), lambang palang merah yang digunakan oleh PMI adalah mengacu pada lambang yang sama dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC). ICRC adalah organisasi bantuan kemanusiaan pertama di dunia yang gagasan maupun kegiatannya banyak diadposi oleh Komisi HAM PBB, organisasi-organisasi non pemerintah (LSM) yang berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dan organisasi-organisasi bantuan kemanusiaan internasional lainnya yang banyak ditiru dan diikuti oleh organisasi serupa di Indonesia.
Lambang palang merah pada ICRC berasal dari bendera negara Swiss. Jika warna dasar bendera negara Swiss adalah merah dengan tanda palang (persis tanda plus dalam matematika) yang ukuran panjang dan lebarnya sama berwarna putih. Maka, agar membedakan dengan bendera negara Swiss, lambang ICRC menggunakan warna dasar putih dengan tanda palang berwarna merah. Tanda ini telah digunakan sejak 1863 dan diadopsi oleh Indonesia sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh patugas kesehatan dan relawan kemanusiaan di wilayah Hindia Belanda ( selengkapnya di sini ). Tentang ICRC dapat dilihat di sini. Dari fakta sejarah tersebut, jelas sekali bahwa upaya mengganti lambang palang merah dengan bulan sabit merah semata-mata adalah persepsi politik sepihak dari sekelompok kecil orang yang tak mau tahu tentang kemaslahatan (kepentingan orang banyak) dan keindonesiaannya. Naudzubillahi min dzalik.
Pernyataan sikap Relawan PMI se Indonesia
Pernyataan Ketua DPR RI
0 komentar:
Posting Komentar