GUGURNYA RIDWAN DAN
ACHMAD
Saat menunggu
kedatangan pasukan Djokonomo, induk pasukan mendapat serangan dari sebelah
Utara. Dengan keberanian luar biasa, saudara Ridwan yang bersenjata brend gun
melakukan perlawanan hebat untuk menggagalkan gerakan masuk tentara Belanda ke
desa Sidobunder dalam serangan yang bergelombang.
Gelombang pertama dan
kedua dapat digagalkan, tapi pada kesempatan berikutnya saudara Ridwan gugur
ditembus peluru musuh. Saudara Koenarso Kampret yang ada di dekatnya sempat
mengamankan senjata Ridwan.
Saudara Achmad,
seorang kurir yang masih sangat muda dari MBT (Markas Besar
Tentara-penyunting), karena kemalaman pada 1 September 1947 memaksa dirinya
tidur di markas induk. Pagi harinya setelah shalat Subuh, ia melaporkan
kedatangan kepada Komandan Seksi, menyatakan ingin bergabung dengan seksi 321
dan minta dipersenjatai. Pertama, ia diberi sejumlah granat gombyok oleh mas
Anggoro, tapi ditolak. Akhirnya, Komandan Seksi 321 ini merelakan senjata
andalan sebuah karabijn pendek hasil perebutan dengan tentara Jepang di
Kotabaru (Jogja-peny) kepada Achmad. Sementara dirinya mengalah dengan
bersenjatakan granat yang akan diberikan kepada Achmad. Setelah bergabung,
Achmad ikut menahan gelombang serangan itu yang akhirnya membuat pemuda itu
gugur dalam menjalankan tugas.
Setelah Regu 1 datang
melapor, Komandan Seksi 321 segera memerintahkan pasukannya untuk memulai
pergerakan mundur. Sdr. Hapto merelakan diri sebagai penunjuk jalan, diikuti
Pramono dan Kusdradjat. Sementara itu, mas Anggoro dan Fuad Sahil menelusuri
jalan ke arah Timur. Sisa pasukan dibagi dua bergerak di antara rumah-rumah
penduduk ke Timur di kedua sisi jalan. Dengan tenang sdr Hapto mendekati regu
Maulwi Saelan. Mereka mamberi isyarat bahwa keadaan masih aman dan pasukan
dapat mengikutinya ke arah Timur. Mungkin salah pengamatan karena baju seragam
dan warna kulit sama dengan pasukan Belanda yang berasal dari KNIL, sebenarnya
kedudukan mereka telah dikepung oleh tentara musuh. Sehingga pasukan kita telah
terperangkap dalam wilayah yang telah dikuasi tentara Belanda. Pertempuran
seorang demi seorang (tidak berkelompok dalam regu-penyunting) tak
terhindarkan. Pada saat itu Hapto dan Pramono gugur. Komandan Seksi dan sisa
pasukan yang mengikutinya ke arah Timur masih sempat berlindung di sudut desa
untuk menyusun ulang kekuatan yang ada sambil mencari informasi tentang
teman-teman yang jadi korban. Serta kedudukan tentara Belanda pada waktu itu.
Dalam waktu yang relatif singkat, telah berkumpul 11 orang yang terdiri dari
Kusdradjat, Rinanto, Fuad Sahil, Djokonomo dan selebihnya adalah anggota TNI.
Melihat situasi yang tidak memungkinkan pasukan untuk bertahan lebih lama,
pasukan ini bergerak ke arah Timur dengan pimpinan Djokonomo.
Setelah memasuki desa
pertama, pasukan kecil ini tiba-tiba dihujani tembakan mortir. Dengan pelan dan
berhati-hati akhirnya mereka dapat memasuki daerah yang dikuasi oleh pasukan
kita dari Angkatan Oemat Islam (AOI).
Mereka kemudian dikepung oleh pasukan AOI dalam jumlah besar dan bersenjata
detonator dengan maksud akan merampas senjata yang dibawa pasukan kecil ini.
Karena emosional, Djokonomo segera menarik pelatuk standgun-nya. Tapi segera
dicegah oleh mas Anggoro selaku Komandan Seksi. Kemudian ia meminta kepada
anggota pasukan AOI untuk mempertemukan dirinya dengan pimpinannya. Tapi tidak
ada tanggapan sama sekali. Mereka tetap terdiam. Akhirnya, mas Anggoro minta
untuk diantar ke masjid guna menunaikan shalat Maghrib. Karena yang muslim
hanya dua orang, anggota pasukan lainnya diperintahkan mengikuti saja gerakan
teman yang ditunjuk menjadi imam.
Setelah usai
menunaikan shalat Maghrib, datang hidangan. Akhirnya pak kyai yang menjadi
pimpinan pasukan AOI itu menghampiri pasukan kecil ini. Beliau meminta senjata
yang kita bawa untuk diserahkan kepada mereka agar dapat memperkuat pertahanan
pasukan AOI. Dengan cara halus, permintaan itu ditolak dan Komandan Seksi
berjanji akan menggantinya dengan sekotak granat tangan yang bias diambil di
markas Tentara Pelajar di Karanganyar. Sesampai di markas, janji itu dipenuhi
dan terjadilah hujan tangis. Banyak anggota TP yang gugur di medan laga sekitar
desa Sidobunder.
Pertahanan Pasukan
PERPIS
Pasukan pelajar
Sulwesi pimpinan Maulwi Saelan mengalami keadaan serupa. Mereka terpaksa mengundurkan
diri, bertempur secara individual dan tercerai berai karena kurang mengenal
medan. Pos mereka yang menghadap jalan menuju Karanganyar dilengkapi senjata
yang cukup kuat. Sekitar jam lima pagi, Maulwi dengan teropongnya melihat
sejumlah besar tentara Belanda yang tengah bergerak di jalan antara Karang ayar
dan Puring kea rah desa Sidobunder. Waktu itu seorang pelajar Timor bernama
Herman Fernandez bertindak selaku penembak senapan mesin. Maulwi memerintahkan
La Sinrang untuk menghubungi Anggoro agar brendgun ditarik ke depan. Beberapa
saat sehabis Subuh, pecahlah kontak senjata dam hujan mortir. Dari arah Gombong
terdengar dentuman meriam yang pecahan pelurunya berjatuhan di kiri dan kanan
pertahanan pasukan TP.
Tiba-tiba Tajudin
tertembak senjata musuh dan sempat berteriak “ BAHSAMA”. Aba-aba mundur diteriakkan
dan pasukan ini tak sempat memberitahu pasukan Anggoro. La Sinrang, La Indi,
Losung dan Herman Fernandez terpisah dari induk pasukannya. Setelah melewati
persawahan yang tergenang air setinggi dada, mereka mencapai kebun kelapa. Di
sini terjadi kontak tembak jarak dekat dengan pasukan Belanda yang datang dari
arah Puring di bawah pimpinan seorang opsir.
Losung dan La Indi
gugur di tempat itu karena kehabisan peluru dan tertembak. Dalam persembunyian
di antara semak-semak, La Sinrang dan Herman Fernandez mendengar teriakan
Losung:
“ Jangan tembak oom…
peluru habis”
Terdengar suara lain,
“ Cukimai Kawanua… budak Soekarno”, lalu terdengar rentetan tembakan.
Herman Fernandez
kepergok seorang opsir Belanda yang berteriak:
“ God verdom zeg
Ambonese. Angkat tangan…!”.
Herman Fernandez
membalas teriakan: “ Inlander….”, dan terdengar senjata La Sinrang yang pelurunya
tinggal sebutir menyalak, menembus dada opsir Belanda yang segera roboh.
Kedua anggota Tentara
Pelajar ini lari berpencar. La Sinrang menemukan standgun yang disangka milik
teman yang gugur dan membuang senjata laras panjangnya karena habis peluru. Tiba-tiba
dari arah Puring muncul anggota pasukan Belanda lainnya yang berteriak: “
Angkat tangan…. “.
Setelah mengetahui
senjata di tangannya juga tanpa peluru, La Sinrang membalas dengan teriakan
lain” Tak ada peluru…”. Meski dihujani tembakan oleh tentara Belanda itu,
terjadi keanehan. Tak ada satu pelurupun yang mengenai tubuhnya. Melihat
kejadian itu, salah satu tentara Belanda mendekat dan memukul tubuh La Sinrang.
Ia jatuh dan segera diikat. Diseret menyeberang sungai dan dibawa truk menuju
Gombong. Kejadian ini disaksikan oleh beberapa orang penduduk yang diantaranya
adalah Rasikun alias Ana mat Mu’sin, Kepala Desa Sidobunder saat ini (sekitar
tahun 1984 – penyunting ).
La Sinrang pertama
kali ditahan di bagian belakang bersama anggota BPRI (barisan Pemberontak RI)
dan ALRI Sumpyuh.
Seorang juru rawat
putri yang mengobati lukanya pernah bertanya kepada La Sinrang: “ Bung dari TP
? “ yang dijawab “ Ya…”. Kemudian juru rawat itu meneruskan, “ nanti saya akan
obati bung.. keluarga saya ada di Jogja”.
Pemeriksaan oleh
Tentara Belanda
Setelah lukanya
membaik, La Sinrang segera diinterograsi :
“ apakah anda kenal
(Herman) Fernandez..”, Tanya tentara Belanda
“ ya..” jawab La
Sinrang.
Selang waktu sekitar
dua minggu, La Sinrang dipindahkan ke tempat tahanan lain. Di situlah ia
bertemu Herman Fernandez . Mereka kemudian berpelukan layaknya sahabat yang
berpisah lama.
Ketika dibawa ke
kantor MP (Militaire Politie/ Polisi Militer) untuk diperiksa, disaksikan oleh
seorang pastor Belanda dan seorang lain yang bertugas mengambil foto, Herman
Fernandez yang fasih berbahasa Belanda dan La Sinrang mendapat pukulan beberapa
kali oleh anggota MP itu setelah pastor dan juru foto pergi meninggalkan tempat
pemeriksaan itu. Mereka dimaki dengan kata-kata : “ Anjing Soekarno…!”.
La Sinrang ditanya: “
apa kamu yang tembak sersan NEX..?”.
“ tidak tahu.. karena
pertempuran..”, jawab La Sinrang. Ia segera tahu bahwa ada empat tentara
Belanda yang ditembak mati dirinya : seorang kapten Belanda dan tiga orang
lainnya dari suku Ambon dan Timor.
Saat ditanyakan, “
senang mana Negara Indonesia Timur atau Jogja”, Herman Fernandez dengan lantang
menjawab :
“ Kami kenal dan kami
pertahankan hanya satu, Negara Republik Indonesia”. Setelah pernyataan itu,
kedua anggota TP ini dipukul berkali-kali. Kemudian keduanya secara resmi
dihadapkan di pengadilan militer Belanda di Gombong.
PESAN HERMAN FERNANDEZ
KEPADA LA SINRANG DALAM TAWANAN TENTARA BELANDA
Herman Fernandez
bercerita kepada La Sinrang bahwa dirinya disangka keras sebagai penembak
Kapten NEX ( semacam wajib militer di Tentara Belanda – penyunting) karena
jenis senjata yang dipegangnya (ketika ditangkap) laras panjang dan La Sinrang
memegang stendgun.
“ Tapi tak mengapa..
adik (La Sinrang) jangan takut mati. Mati ditembak Belanda lebih baik dari pada
mati konyol”, kata Herman Fernandez.
“ Mungkin saya tak kan
hidup lama lagi. Pastor Belanda telah memberi kitab dan menyuruh saya akan
segera bersembahyang”.
“Pastor pernah
menawarkan pertolongan jika saya mau mengakui sangkaan itu. Tapi saya selalu
menolaknya”
“Saya sering bermimpi
buruk. Adik saya doakan agar tetap selamat..”
“Kalau nanti saya mati
ditembak, tolong sampaikan salam kepada teman-teman dan tunangan saya yang ada
di asrama Katholik Magelang”, kata Herman Fernandez dengan tabah.
Suatu malam, La
Sinrang mendengar kabar bahwa Herman Fernandez dibawa pergi oleh tentara
Belanda dan tidak kembali lagi. Sementara itu, dirinya dua kali dipindahkan
sebagai tawanan di Sumpyuh dan Banyumas. Atas ijin Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam
pemeriksaan lanjutan dan sangat menentukan, ia ditolong seorang anggota Tentara
Belanda asal pulau Buton bernama Lambia yang memberi kesaksian meringankan.
Akhirnya La Sinrang urung dieksekusi mati.
Pasukan Maulwi Saelan
Lolos dari Lubang Jarum
Setelah mengetahui
tentang kabar anak buahnya banyak yang gugur di medan laga Sidobunder dan
kehabisan peluru, Maulwi Saelan mencari jalan untuk meloloskan diri dari
pembantaian tentara Belanda. Karena postur tubuh dan warna kulitnya yang kuning
langsat, ia berpikir dapat mengelabuhi patroli Belanda dengan cara bertelanjang
dada dan mengibarkan baju di antara pematang sawah. Seolah mereka tengah
mengejar gadis desa layaknya para sinyo Belanda. Taktik ini ternyata jitu.
Jam 12.45, dua anggota
TP yakni Soemitro dan Wahju Widodo bertemu dua orang desa berpakaian tani yang
sedang memikul usungan di jalan sebelum masuk desa Tegalsari. Ternyata yang
mereka usung adalah jenasah Sorjoharjono. Selang waktu spuluh menit berikutnya,
kedua anggota TP ini berpapasan dengan dua pengusung lain di desa Tegalsari. Di
dalamnya terdapat tubuh Alex Rumambi yang terluka parah dengan lubang bekas
tertembus peluru dan banyak sayatan di sekujur tubuh.
Sesampai di markas TP
Karanganyar, Maulwi Saelan diperintahkan kembali ke desa Sidobunder untuk
menemukan jenasah para pejuang. Didampingi anggota International Brigade dari
India dan sejumlah anggota TP, ia berangkat. Tetapi karena situasinya masih
rawan dengan sejumlah tentara Belanda yang sering berpatroli serta sawah yang
tergenang air, pencarian itu ditunda sampai esok hari.
Tanggal 3 September
1947, ditemukan sejumlah jenasah pejuang
yang berserakan di sawah dan pekarangan penduduk. Setelah dikumpulkan dan
dibungkus dengan daun pisang, semua jenasah itu diangkut dengan usungan bambu
dan dibawa ke desa Sugihwaras menggunakan perahu-perahu rakyat. Kemudian
semuanya dipindahkan ke markas Karanganyar untuk disemayamkan dan menunggu
kedatangan kereta api yang akan membawanya ke Jogja.
Staf Putri: Tugas
Penting di Balik Layar
Markas Pusat Tentara
Pelajar di Jogja memiliki Staf Putri yang dipimpin oleh Sri Daruni, pelajar SMA
B Kotabaru. Mbak Daruni, begitu panggilan yang biasa diberikan kepada beliau,
sebagaimana dituturkan oleh Atiatoen yang saat itu selaku anggota staf dan
siswi di Sekolah Guru Putri (SGP) adalah “kanca wingking” – nya anggota TP
laki-laki yang berlaga di garis depan. Ada dua hal yang biasa mereka urus yakni
dapur umum dan kepalang-merahan. Untuk angkatan pertama dan kedua, anggota staf
putri diberikan pelatihan dasar kemiliteran seperti baris berbaris, mengenal
dan menggunakan beberapa senjata serta bela diri militer. Sesuai ingatan
Atiatoen, ada beberapa nama siswi SGP yang pernah mengikuti latihan dasar
kemiliteran di Militair Academie (MA) Kotabaru Jogjakarta yaitu Retno
Sriningsih, Retno Triningsih, Oemijatoen dan Koeshartini yang pernah bersamanya
ditugaskan di rumah sakit darurat PMI Mojoagung Mojokerto Jawa Timur bersama
teman-teman dari Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) membantu perawatan
korban pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Demikian pula
penugasan di Markas Darurat Tentara Pelajar di lingkungan Gereja Kristen Jawa
jalan stasiun Kebumen pada Perang Kemerdekaan I tahun 1947. Markas yang
dipimpin Moedojo (mahasiswa HESP di sekolah tinggi hukum yang sekarang bernama
Universitas Gadjahmada) dan wakilnya Tjiptardjo yang pelajar Sekolah Menengah
Teknik (STM Jetis Jogjakarta). Kantor markas berada di sebuah rumah di kanan
gereja yang sekarang dipakai untuk kantor pemasaran produk rangka baja.
Sementara itu, rumah dinas kapandhitan yang saat itu dikelola bapak Pendeta
Reksodihardjo digunakan sebagai asrama di bagian aula dan dapur umum di
bangunan sayapnya. Secara kebetulan, keluarga bapak Reksodihardjo memiliki
kedekatan hubungan dengan keluarga Atiatoen. Selain menjadi pelanggan beras
yang dijual oleh almarhumah ibu kandung dan mesin jahit yang disediakan oleh
ayahnya, Moch. Djadjuli, dua kakak kandung Atiatoen yakni Affandi yang akrab
disapa Pandi Gondhek dan Achmad Dimjatie (letnan TRI, penguasa militer di Front
Barat) adalah teman bermain putra bapak pendeta Reksodihardjo yang bernama
Agustinus. Karena itu, penugasan Atiatoen di markas darurat TP ini mendapat
dukungan penuh dari keluarga pendeta Reksodihardjo. Di antaranya adalah
mempekerjakan tukang masak keluarga bernama Fathonah dan seorang tukang kebun
gereja yang ditugaskan menanak nasi, membersihkan lingkungan yang dipakai
asrama dan dapur serta mencari kayu bakar.
Selama menjalankan
tugas di markas darurat ini, Atiatoen dibantu oleh beberapa teman sesama siswi
SGP asal Kebumen yaitu Rasini dan Oemijaton (adik kandung Martono, Komandan
Detasemen III TP Jogja, mantan Menteri Transmigrasi), Oemi Wasilah (mantan
Kepala SD N 5 Kebumen) dan Haryati yang rumahnya dekat gereja. Ia bertugas
sepanjang masa libur kenaikan kelas sekitar pertengahan Juli – pertegahan
September 1947. Sementara itu, markas darurat telah dioperasikan sekitar tiga
minggu sebelumnya.
Menjelang akhir
Agustus 1947, terjadi pengerahan pasukan TP secara besar-besaran ke arah Barat
kota Kebumen membantu pemusatan kekuatan tempur pasukan TRI yang dipimpin oleh
Letnan Achmad Dimjatie di sekitar wilayah Gombong Selatan (Kuwarasan, Puring
dan Buayan). Selain dari Jogja yang dikerahkan dari Markas Pusat di Tugu Kulon,
pasukan TP diperkuat oleh TGP, TP Solo, SA/CSA, TRIP dan TP Purworejo. Tentu
saja dari markas TP Kebumen yang sekarang menjadi SMP Muhammadiyah 1 saat itu
dipimpin Sadar, Samijo dan David Sulistjo juga mengerahkan pasukannya.
Kebanyakan dari mereka adalah para siswa Sekolah Teknik (sekarang SMP N 7
Kebumen) dari berbagai daerah. Tidak hanya sekitar Kedu dan Banyumas. Tapi
banyak juga yang berasal dari luar Pulau Jawa seperti Flores dan Ambon.
Menurut penuturan
Atiatoen, seminggu menjelang pertempuran besar di sekitar Sidobunder, hampir
setiap hari Markas Pusat TP di Jogja mengirim dua sampai tiga gerbong pasukan.
Ada yang berasal dari Pelajar Kalimantan, Sulawesi (PERPIS) dan pelajar dari
berbagai daerah di Indonesia (kecuali Papua) yang tengah menjalani studi di
Jogjakarta. Dari banyak anggota TP yang
singgah di asrama dan mengambil jatah makan di dapur umum, ada tiga nama yang
sangat diingatnya. Pertama, seorang yang disebut Lowo. Ia diingat karena
sikapnya yang urakan dan suka mengganggu teman-teman putrinya di dapur umum.
Alex Rumambi yang berperawakan pendek dan pendiam. Tapi disegani oleh
rekan-rekannya. Dan satu lagi adalah seorang pelajar Kalimantan yang membantu
dirinya memetik nangka di halaman belakang rumahnya untuk persediaan sayur,
menu malam nanti. Sampai sekarang, ia tak mengenal nama pelajar Kalimantan ini.
Dari keterangan kakak kandungnya, Pandi Gondhek, ia bernama Losung. Jika benar
keterangan itu, kebersamaan memetik nangka adalah kesempatan pertemuan
terakhir. Karena Losung merupakan salah satu korban yang gugur pada pertempuran
di desa Sidobunder.
1 komentar:
Selamat siang kepada sang Penulis
Saya Shafigh cucu dari alm H. Fuad Sahil salah satu dari Tentara Pelajar yang bisa lolos dari ratusan tentara pelajar...
Melalui posting tulisan ini saya bisa mengenang dan tahu rekam jejak dari Eyang saya...
Beliau banyak mengajarkan kepada saya agar dapat mewarisi dan melanjutkan cita cita nya untuk bangsa Indonesia... Beliau salah satu yang memprakarsai berdiri nya Masjid Baiturahman Semarang dan Universitas Islam Sultan Agung Semarang....
Terimakasih kepada penulis ...
Salam Kenal
Posting Komentar