01/04/10

Markas Darurat Tentara Pelajar di Front Barat pada Perang Kemerdekaan I - 1947: Bagian 2


GUGURNYA RIDWAN DAN ACHMAD

Saat menunggu kedatangan pasukan Djokonomo, induk pasukan mendapat serangan dari sebelah Utara. Dengan keberanian luar biasa, saudara Ridwan yang bersenjata brend gun melakukan perlawanan hebat untuk menggagalkan gerakan masuk tentara Belanda ke desa Sidobunder dalam serangan yang bergelombang.
Gelombang pertama dan kedua dapat digagalkan, tapi pada kesempatan berikutnya saudara Ridwan gugur ditembus peluru musuh. Saudara Koenarso Kampret yang ada di dekatnya sempat mengamankan senjata Ridwan.

Saudara Achmad, seorang kurir yang masih sangat muda dari MBT (Markas Besar Tentara-penyunting), karena kemalaman pada 1 September 1947 memaksa dirinya tidur di markas induk. Pagi harinya setelah shalat Subuh, ia melaporkan kedatangan kepada Komandan Seksi, menyatakan ingin bergabung dengan seksi 321 dan minta dipersenjatai. Pertama, ia diberi sejumlah granat gombyok oleh mas Anggoro, tapi ditolak. Akhirnya, Komandan Seksi 321 ini merelakan senjata andalan sebuah karabijn pendek hasil perebutan dengan tentara Jepang di Kotabaru (Jogja-peny) kepada Achmad. Sementara dirinya mengalah dengan bersenjatakan granat yang akan diberikan kepada Achmad. Setelah bergabung, Achmad ikut menahan gelombang serangan itu yang akhirnya membuat pemuda itu gugur dalam menjalankan tugas.

Setelah Regu 1 datang melapor, Komandan Seksi 321 segera memerintahkan pasukannya untuk memulai pergerakan mundur. Sdr. Hapto merelakan diri sebagai penunjuk jalan, diikuti Pramono dan Kusdradjat. Sementara itu, mas Anggoro dan Fuad Sahil menelusuri jalan ke arah Timur. Sisa pasukan dibagi dua bergerak di antara rumah-rumah penduduk ke Timur di kedua sisi jalan. Dengan tenang sdr Hapto mendekati regu Maulwi Saelan. Mereka mamberi isyarat bahwa keadaan masih aman dan pasukan dapat mengikutinya ke arah Timur. Mungkin salah pengamatan karena baju seragam dan warna kulit sama dengan pasukan Belanda yang berasal dari KNIL, sebenarnya kedudukan mereka telah dikepung oleh tentara musuh. Sehingga pasukan kita telah terperangkap dalam wilayah yang telah dikuasi tentara Belanda. Pertempuran seorang demi seorang (tidak berkelompok dalam regu-penyunting) tak terhindarkan. Pada saat itu Hapto dan Pramono gugur. Komandan Seksi dan sisa pasukan yang mengikutinya ke arah Timur masih sempat berlindung di sudut desa untuk menyusun ulang kekuatan yang ada sambil mencari informasi tentang teman-teman yang jadi korban. Serta kedudukan tentara Belanda pada waktu itu. Dalam waktu yang relatif singkat, telah berkumpul 11 orang yang terdiri dari Kusdradjat, Rinanto, Fuad Sahil, Djokonomo dan selebihnya adalah anggota TNI. Melihat situasi yang tidak memungkinkan pasukan untuk bertahan lebih lama, pasukan ini bergerak ke arah Timur dengan pimpinan Djokonomo.

Setelah memasuki desa pertama, pasukan kecil ini tiba-tiba dihujani tembakan mortir. Dengan pelan dan berhati-hati akhirnya mereka dapat memasuki daerah yang dikuasi oleh pasukan kita dari  Angkatan Oemat Islam (AOI). Mereka kemudian dikepung oleh pasukan AOI dalam jumlah besar dan bersenjata detonator dengan maksud akan merampas senjata yang dibawa pasukan kecil ini. Karena emosional, Djokonomo segera menarik pelatuk standgun-nya. Tapi segera dicegah oleh mas Anggoro selaku Komandan Seksi. Kemudian ia meminta kepada anggota pasukan AOI untuk mempertemukan dirinya dengan pimpinannya. Tapi tidak ada tanggapan sama sekali. Mereka tetap terdiam. Akhirnya, mas Anggoro minta untuk diantar ke masjid guna menunaikan shalat Maghrib. Karena yang muslim hanya dua orang, anggota pasukan lainnya diperintahkan mengikuti saja gerakan teman yang ditunjuk menjadi imam.

Setelah usai menunaikan shalat Maghrib, datang hidangan. Akhirnya pak kyai yang menjadi pimpinan pasukan AOI itu menghampiri pasukan kecil ini. Beliau meminta senjata yang kita bawa untuk diserahkan kepada mereka agar dapat memperkuat pertahanan pasukan AOI. Dengan cara halus, permintaan itu ditolak dan Komandan Seksi berjanji akan menggantinya dengan sekotak granat tangan yang bias diambil di markas Tentara Pelajar di Karanganyar. Sesampai di markas, janji itu dipenuhi dan terjadilah hujan tangis. Banyak anggota TP yang gugur di medan laga sekitar desa Sidobunder.


Pertahanan Pasukan PERPIS

Pasukan pelajar Sulwesi pimpinan Maulwi Saelan mengalami keadaan serupa. Mereka terpaksa mengundurkan diri, bertempur secara individual dan tercerai berai karena kurang mengenal medan. Pos mereka yang menghadap jalan menuju Karanganyar dilengkapi senjata yang cukup kuat. Sekitar jam lima pagi, Maulwi dengan teropongnya melihat sejumlah besar tentara Belanda yang tengah bergerak di jalan antara Karang ayar dan Puring kea rah desa Sidobunder. Waktu itu seorang pelajar Timor bernama Herman Fernandez bertindak selaku penembak senapan mesin. Maulwi memerintahkan La Sinrang untuk menghubungi Anggoro agar brendgun ditarik ke depan. Beberapa saat sehabis Subuh, pecahlah kontak senjata dam hujan mortir. Dari arah Gombong terdengar dentuman meriam yang pecahan pelurunya berjatuhan di kiri dan kanan pertahanan pasukan TP.
Tiba-tiba Tajudin tertembak senjata musuh dan sempat berteriak “ BAHSAMA”. Aba-aba mundur diteriakkan dan pasukan ini tak sempat memberitahu pasukan Anggoro. La Sinrang, La Indi, Losung dan Herman Fernandez terpisah dari induk pasukannya. Setelah melewati persawahan yang tergenang air setinggi dada, mereka mencapai kebun kelapa. Di sini terjadi kontak tembak jarak dekat dengan pasukan Belanda yang datang dari arah Puring di bawah pimpinan seorang opsir.
Losung dan La Indi gugur di tempat itu karena kehabisan peluru dan tertembak. Dalam persembunyian di antara semak-semak, La Sinrang dan Herman Fernandez mendengar teriakan Losung:
“ Jangan tembak oom… peluru habis”
Terdengar suara lain, “ Cukimai Kawanua… budak Soekarno”, lalu terdengar rentetan tembakan.
Herman Fernandez kepergok seorang opsir Belanda yang berteriak:
“ God verdom zeg Ambonese. Angkat tangan…!”.
Herman Fernandez membalas teriakan: “ Inlander….”, dan terdengar senjata La Sinrang yang pelurunya tinggal sebutir menyalak, menembus dada opsir Belanda yang segera roboh.
Kedua anggota Tentara Pelajar ini lari berpencar. La Sinrang menemukan standgun yang disangka milik teman yang gugur dan membuang senjata laras panjangnya karena habis peluru. Tiba-tiba dari arah Puring muncul anggota pasukan Belanda lainnya yang berteriak: “ Angkat tangan…. “.
Setelah mengetahui senjata di tangannya juga tanpa peluru, La Sinrang membalas dengan teriakan lain” Tak ada peluru…”. Meski dihujani tembakan oleh tentara Belanda itu, terjadi keanehan. Tak ada satu pelurupun yang mengenai tubuhnya. Melihat kejadian itu, salah satu tentara Belanda mendekat dan memukul tubuh La Sinrang. Ia jatuh dan segera diikat. Diseret menyeberang sungai dan dibawa truk menuju Gombong. Kejadian ini disaksikan oleh beberapa orang penduduk yang diantaranya adalah Rasikun alias Ana mat Mu’sin, Kepala Desa Sidobunder saat ini (sekitar tahun 1984 – penyunting ).
La Sinrang pertama kali ditahan di bagian belakang bersama anggota BPRI (barisan Pemberontak RI) dan ALRI Sumpyuh.
Seorang juru rawat putri yang mengobati lukanya pernah bertanya kepada La Sinrang: “ Bung dari TP ? “ yang dijawab “ Ya…”. Kemudian juru rawat itu meneruskan, “ nanti saya akan obati bung.. keluarga saya ada di Jogja”.


Pemeriksaan oleh Tentara Belanda

Setelah lukanya membaik, La Sinrang segera diinterograsi :
“ apakah anda kenal (Herman) Fernandez..”, Tanya tentara Belanda
“ ya..” jawab La Sinrang.
Selang waktu sekitar dua minggu, La Sinrang dipindahkan ke tempat tahanan lain. Di situlah ia bertemu Herman Fernandez . Mereka kemudian berpelukan layaknya sahabat yang berpisah lama.
Ketika dibawa ke kantor MP (Militaire Politie/ Polisi Militer) untuk diperiksa, disaksikan oleh seorang pastor Belanda dan seorang lain yang bertugas mengambil foto, Herman Fernandez yang fasih berbahasa Belanda dan La Sinrang mendapat pukulan beberapa kali oleh anggota MP itu setelah pastor dan juru foto pergi meninggalkan tempat pemeriksaan itu. Mereka dimaki dengan kata-kata : “ Anjing Soekarno…!”.
La Sinrang ditanya: “ apa kamu yang tembak sersan NEX..?”.
“ tidak tahu.. karena pertempuran..”, jawab La Sinrang. Ia segera tahu bahwa ada empat tentara Belanda yang ditembak mati dirinya : seorang kapten Belanda dan tiga orang lainnya dari suku Ambon dan Timor.
Saat ditanyakan, “ senang mana Negara Indonesia Timur atau Jogja”, Herman Fernandez dengan lantang menjawab :
“ Kami kenal dan kami pertahankan hanya satu, Negara Republik Indonesia”. Setelah pernyataan itu, kedua anggota TP ini dipukul berkali-kali. Kemudian keduanya secara resmi dihadapkan di pengadilan militer Belanda di Gombong.


PESAN HERMAN FERNANDEZ KEPADA LA SINRANG DALAM TAWANAN TENTARA BELANDA

Herman Fernandez bercerita kepada La Sinrang bahwa dirinya disangka keras sebagai penembak Kapten NEX ( semacam wajib militer di Tentara Belanda – penyunting) karena jenis senjata yang dipegangnya (ketika ditangkap) laras panjang dan La Sinrang memegang stendgun.
“ Tapi tak mengapa.. adik (La Sinrang) jangan takut mati. Mati ditembak Belanda lebih baik dari pada mati konyol”, kata Herman Fernandez.
“ Mungkin saya tak kan hidup lama lagi. Pastor Belanda telah memberi kitab dan menyuruh saya akan segera bersembahyang”.
“Pastor pernah menawarkan pertolongan jika saya mau mengakui sangkaan itu. Tapi saya selalu menolaknya”
“Saya sering bermimpi buruk. Adik saya doakan agar tetap selamat..”
“Kalau nanti saya mati ditembak, tolong sampaikan salam kepada teman-teman dan tunangan saya yang ada di asrama Katholik Magelang”, kata Herman Fernandez dengan tabah.

Suatu malam, La Sinrang mendengar kabar bahwa Herman Fernandez dibawa pergi oleh tentara Belanda dan tidak kembali lagi. Sementara itu, dirinya dua kali dipindahkan sebagai tawanan di Sumpyuh dan Banyumas. Atas ijin Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam pemeriksaan lanjutan dan sangat menentukan, ia ditolong seorang anggota Tentara Belanda asal pulau Buton bernama Lambia yang memberi kesaksian meringankan. Akhirnya La Sinrang urung dieksekusi mati.


Pasukan Maulwi Saelan Lolos dari Lubang Jarum

Setelah mengetahui tentang kabar anak buahnya banyak yang gugur di medan laga Sidobunder dan kehabisan peluru, Maulwi Saelan mencari jalan untuk meloloskan diri dari pembantaian tentara Belanda. Karena postur tubuh dan warna kulitnya yang kuning langsat, ia berpikir dapat mengelabuhi patroli Belanda dengan cara bertelanjang dada dan mengibarkan baju di antara pematang sawah. Seolah mereka tengah mengejar gadis desa layaknya para sinyo Belanda. Taktik ini ternyata jitu.

Jam 12.45, dua anggota TP yakni Soemitro dan Wahju Widodo bertemu dua orang desa berpakaian tani yang sedang memikul usungan di jalan sebelum masuk desa Tegalsari. Ternyata yang mereka usung adalah jenasah Sorjoharjono. Selang waktu spuluh menit berikutnya, kedua anggota TP ini berpapasan dengan dua pengusung lain di desa Tegalsari. Di dalamnya terdapat tubuh Alex Rumambi yang terluka parah dengan lubang bekas tertembus peluru dan banyak sayatan di sekujur tubuh.

Sesampai di markas TP Karanganyar, Maulwi Saelan diperintahkan kembali ke desa Sidobunder untuk menemukan jenasah para pejuang. Didampingi anggota International Brigade dari India dan sejumlah anggota TP, ia berangkat. Tetapi karena situasinya masih rawan dengan sejumlah tentara Belanda yang sering berpatroli serta sawah yang tergenang air, pencarian itu ditunda sampai esok hari.
Tanggal 3 September 1947, ditemukan sejumlah  jenasah pejuang yang berserakan di sawah dan pekarangan penduduk. Setelah dikumpulkan dan dibungkus dengan daun pisang, semua jenasah itu diangkut dengan usungan bambu dan dibawa ke desa Sugihwaras menggunakan perahu-perahu rakyat. Kemudian semuanya dipindahkan ke markas Karanganyar untuk disemayamkan dan menunggu kedatangan kereta api yang akan membawanya ke Jogja.unakan perahu-perahu rakyat. Kemudian semuanya dipindahkan ke markas Karangayadibungkus dengan daun pisatuasinya masih rawa     




Staf Putri: Tugas Penting di Balik Layar

Markas Pusat Tentara Pelajar di Jogja memiliki Staf Putri yang dipimpin oleh Sri Daruni, pelajar SMA B Kotabaru. Mbak Daruni, begitu panggilan yang biasa diberikan kepada beliau, sebagaimana dituturkan oleh Atiatoen yang saat itu selaku anggota staf dan siswi di Sekolah Guru Putri (SGP) adalah “kanca wingking” – nya anggota TP laki-laki yang berlaga di garis depan. Ada dua hal yang biasa mereka urus yakni dapur umum dan kepalang-merahan. Untuk angkatan pertama dan kedua, anggota staf putri diberikan pelatihan dasar kemiliteran seperti baris berbaris, mengenal dan menggunakan beberapa senjata serta bela diri militer. Sesuai ingatan Atiatoen, ada beberapa nama siswi SGP yang pernah mengikuti latihan dasar kemiliteran di Militair Academie (MA) Kotabaru Jogjakarta yaitu Retno Sriningsih, Retno Triningsih, Oemijatoen dan Koeshartini yang pernah bersamanya ditugaskan di rumah sakit darurat PMI Mojoagung Mojokerto Jawa Timur bersama teman-teman dari Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) membantu perawatan korban pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Demikian pula penugasan di Markas Darurat Tentara Pelajar di lingkungan Gereja Kristen Jawa jalan stasiun Kebumen pada Perang Kemerdekaan I tahun 1947. Markas yang dipimpin Moedojo (mahasiswa HESP di sekolah tinggi hukum yang sekarang bernama Universitas Gadjahmada) dan wakilnya Tjiptardjo yang pelajar Sekolah Menengah Teknik (STM Jetis Jogjakarta). Kantor markas berada di sebuah rumah di kanan gereja yang sekarang dipakai untuk kantor pemasaran produk rangka baja. Sementara itu, rumah dinas kapandhitan yang saat itu dikelola bapak Pendeta Reksodihardjo digunakan sebagai asrama di bagian aula dan dapur umum di bangunan sayapnya. Secara kebetulan, keluarga bapak Reksodihardjo memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga Atiatoen. Selain menjadi pelanggan beras yang dijual oleh almarhumah ibu kandung dan mesin jahit yang disediakan oleh ayahnya, Moch. Djadjuli, dua kakak kandung Atiatoen yakni Affandi yang akrab disapa Pandi Gondhek dan Achmad Dimjatie (letnan TRI, penguasa militer di Front Barat) adalah teman bermain putra bapak pendeta Reksodihardjo yang bernama Agustinus. Karena itu, penugasan Atiatoen di markas darurat TP ini mendapat dukungan penuh dari keluarga pendeta Reksodihardjo. Di antaranya adalah mempekerjakan tukang masak keluarga bernama Fathonah dan seorang tukang kebun gereja yang ditugaskan menanak nasi, membersihkan lingkungan yang dipakai asrama dan dapur serta mencari kayu bakar.

Selama menjalankan tugas di markas darurat ini, Atiatoen dibantu oleh beberapa teman sesama siswi SGP asal Kebumen yaitu Rasini dan Oemijaton (adik kandung Martono, Komandan Detasemen III TP Jogja, mantan Menteri Transmigrasi), Oemi Wasilah (mantan Kepala SD N 5 Kebumen) dan Haryati yang rumahnya dekat gereja. Ia bertugas sepanjang masa libur kenaikan kelas sekitar pertengahan Juli – pertegahan September 1947. Sementara itu, markas darurat telah dioperasikan sekitar tiga minggu sebelumnya.

Menjelang akhir Agustus 1947, terjadi pengerahan pasukan TP secara besar-besaran ke arah Barat kota Kebumen membantu pemusatan kekuatan tempur pasukan TRI yang dipimpin oleh Letnan Achmad Dimjatie di sekitar wilayah Gombong Selatan (Kuwarasan, Puring dan Buayan). Selain dari Jogja yang dikerahkan dari Markas Pusat di Tugu Kulon, pasukan TP diperkuat oleh TGP, TP Solo, SA/CSA, TRIP dan TP Purworejo. Tentu saja dari markas TP Kebumen yang sekarang menjadi SMP Muhammadiyah 1 saat itu dipimpin Sadar, Samijo dan David Sulistjo juga mengerahkan pasukannya. Kebanyakan dari mereka adalah para siswa Sekolah Teknik (sekarang SMP N 7 Kebumen) dari berbagai daerah. Tidak hanya sekitar Kedu dan Banyumas. Tapi banyak juga yang berasal dari luar Pulau Jawa seperti Flores dan Ambon.

Menurut penuturan Atiatoen, seminggu menjelang pertempuran besar di sekitar Sidobunder, hampir setiap hari Markas Pusat TP di Jogja mengirim dua sampai tiga gerbong pasukan. Ada yang berasal dari Pelajar Kalimantan, Sulawesi (PERPIS) dan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia (kecuali Papua) yang tengah menjalani studi di Jogjakarta.  Dari banyak anggota TP yang singgah di asrama dan mengambil jatah makan di dapur umum, ada tiga nama yang sangat diingatnya. Pertama, seorang yang disebut Lowo. Ia diingat karena sikapnya yang urakan dan suka mengganggu teman-teman putrinya di dapur umum. Alex Rumambi yang berperawakan pendek dan pendiam. Tapi disegani oleh rekan-rekannya. Dan satu lagi adalah seorang pelajar Kalimantan yang membantu dirinya memetik nangka di halaman belakang rumahnya untuk persediaan sayur, menu malam nanti. Sampai sekarang, ia tak mengenal nama pelajar Kalimantan ini. Dari keterangan kakak kandungnya, Pandi Gondhek, ia bernama Losung. Jika benar keterangan itu, kebersamaan memetik nangka adalah kesempatan pertemuan terakhir. Karena Losung merupakan salah satu korban yang gugur pada pertempuran di desa Sidobunder.

1 komentar:

Shafigh Pahlevi Lontoh mengatakan...

Selamat siang kepada sang Penulis
Saya Shafigh cucu dari alm H. Fuad Sahil salah satu dari Tentara Pelajar yang bisa lolos dari ratusan tentara pelajar...
Melalui posting tulisan ini saya bisa mengenang dan tahu rekam jejak dari Eyang saya...
Beliau banyak mengajarkan kepada saya agar dapat mewarisi dan melanjutkan cita cita nya untuk bangsa Indonesia... Beliau salah satu yang memprakarsai berdiri nya Masjid Baiturahman Semarang dan Universitas Islam Sultan Agung Semarang....
Terimakasih kepada penulis ...

Salam Kenal

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.