Keberadaan Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), Tentara Genie Pelajar (TGP), SA/CSA (Corp Student Army) atau Pelajar/Mahasiswa Pejuang Kemerdekaan (Bersenjata) dan beberapa nama lain adalah sebuah realitas sejarah perjuangan kaum terpelajar dalam ikut serta selaku warga negara - bangsa menegakkan amanat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Dengan rentang waktu yang sangat pendek (Juni 1946 - akhir Desember 1949), mereka telah mewarnai sejarah dengan beragam cerita heroik dan segala pernak-perniknya.
Dalam peta kendali kekuatan perjuangan rakyat, wilayah Gombong, Kuwarasan, Buayan, Puring dan sekitarnya biasa disebut Front Barat. Pada Perang Kemerdekaan I 1947, wilayah ini sering terjadi pertempuran hebat antara pejuang Kemerdekaan RI dan pasukan penjajah Belanda yang sebagian besar adalah NICA (semacam legiun asingnya Tentara Kerajaan Belanda). Seolah jadi kebiasaan, setiap menjelang peristiwa penting bagi Kerajaan Belanda seperti hari lahir Ratu dan lain-lain, tentara Belanda melakukan aksi pertempuran besar di berbagai wilayah. Satu di antaranya adalah sekitar Desa Sidobunder Kecamatan Puring Kab. Kebumen. Berikut adalah cerita pertempuran yang melatar-belakangi pembuatan Palagan Sidobunder oleh Keluarga Besar Tiga Tujuhbekas (Tentara Pelajar Detasemen III Brigade 17 TNI) sebagaimana ditulis Istopo Sebul dalam buku Peringatan Palagan Sidobunder (1984) dengan sedikit penyuntingan ejaan agar mudah dipahami umum.
***
PALAGAN SIDOBUNDER
Awan gelap menggantung di ufuk Barat. Matahari mulai terbenam meninggalkan cahaya kemerah-merahan di celah-celah mendung hitam, meramalkan kesuraman yang menggetarkan hati. Seperti masuk neraka saja, rasanya.
Sepasukan kecil dari Seksi (Sie) 321 Kompi (Kie) 320 Batalyon (Bat) 300 Tentara Pelajar dibawah komandan Anggoro bergerak melaksanakan perintah untuk menduduki daerah Sidobunder membantu dan memperkuat pertahanan sepasukan kecil dengan kekuatan satu regu Tentara Rakyat Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI saat itu) di bawah pimpinan seorang Letnan ( kemudian diketahui bernama Achmad Dimjati – penyunting).
Pasukan bergerak pelan-pelan dan berhati-hati, sebentar-sebentar berhenti memperhatikan dengan seksama keadaan di depan dan di sekelilingnya.
Senapan-senapan yang semula dengan santai disandang di pundak, tanpa komnado, telah dibawa dalam keadaan siap tempur. Mata mereka hampi tak berkedip, meneliti senja yang berangsur gelap itu, agar dapat menelusuri jalan menuju Desa Sidobunder.
Masuk Desa Sidobunder
Tanggal 31 Agustus 1947, pasukan TP telah memasuki Desa Sidobunder. Segera Sie 321 melapor kedatangannya kepada Penguasa (Militer) setempat yang dijabat oleh Letnan TRI tersebut di atas dan juga Kepala Desa Sidobunder yang telah siap menyambut kedatangan Sie 321 dengan nuk (nasi bungkus jaman itu) yang segera diserbu oleh semua pasukan yang sudah lapar. Malam itu Nampak banyak obor menyala di seberang sawah yang mencurigakan.
Tetapi, setelah Kepala Desa menerangkan bahwa itu adalah kebiasaan rakyat setempat yang sedang mencari gangsir (sejenis jangkrik/ cengkerik) di malam hari, maka Komandan Anggoro mengijinkan pasukannya untuk beristirahat. Setelah pasukan beristirahat sebentar maka Sie 321 menempati pos masing-masing di beberapa penjuru Desa Sidobunder yang dianggap rawan bila pasukan Belanda menyerang pertahanan pasukan RI.
Bersamaan kedatangan Sie 321, tiba pula anggota TP Sulawesi (PERPIS: Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi) yang dipimpin oleh Maulwi Saelan dan beberapa anggota TP Purworejo yang menggabungkan diri di Desa Sidobunder. Markas pasukan TP adalah rumah Pak Ponco yang letaknya di sebelah Barat Kelurahan yang kini menjadi gedung SD. Pak Ponco adalah seorang pensiunan pegawai pegadaian (Pandhuis Schatter, juru tulis pegadaian) dank arena itu masyarakat setempat menyebut beliau sebagai pak Sekater.
Senin, 1 September 1947
Baru satu malam berada di Desa Sidobunder, kami mendengar kabar bahwa tentara Belanda telah mengadakan pemusatan kekuatan di Karangbolong. Pagi itu, Sdr. Losung dari PERPIS bersama tiga rekan ditugaskan untuk menguji kebenaran berita itu. Memang benar ada tentara Belanda di sana, tetapi jumlahnya tidak banyak. Bahkan ada yang sempat berenang dan mandi di sungai itu. Oleh keempat anggota TP yang masih belasan tahun umurnya itu, tanpa memperhitungkan bahaya yang akan timbul, orang-orang Belanda itu ditembaki. Karena kaget, mereka lari terbirit-birit tanpa membalas tembakan anak-anak TP.
Bagian II
Bersiap-siap
Menyongsong Musuh
Senin pagi, Regu 1 dibawah pimpinan Djokonomo menempati pertahanan terdepan dengan tugas khusus mempertahankan jembatan yang telah diledakkan pada waktu yang lalu. Atau setidak-tidaknya menghambat gerakan pasukan Belanda apabila mereka menyerang dari arah Barat.
Anggota Regu 1 nampak sangat gembira pagi itu. Di tebing sungai terdapat lubang-lubang perlindungan yang rupanya pernah dipakai sebagai lubang pertahanan pasukan yang dating sebelumnya. Dari situ dapat terlihat suasana Desa Sidobunder secara jelas. Meskipun hari itu pasukan berusaha santai, tetapi hati merasa was-was, karena 31 Agustus kemarin adalah hari ulat tahun Ratu Wilhelmina, yang biasanya oleh tentara Belanda dirayakan dengan serangan besar terhadap pertahanan pasukan RI.
Pertemuan Terakhir antara Komandan Regu 1 dan 2
Komandan Regu 2, Djokopramono yang ganteng, bersama beberapa anggotanya siang itu mengunjungi pertahanan Regu 1 dan ikut ngobrol di pos terdepan. Siang itu mereka berenang di sungai . Kebetulan ada perahu rakyat yang tak terpakai. Djokopramono coba mengayuhnya dan ia nampak gembira sekali. Rupanya itulah kesempatan terakhir bergembira ria bersama teman-temannya. Anggota lain menyeberang jembatan dan menapaki jalan-jalan yang termasuk daerah kekuasaan tentara Belanda.
Ia berpesan agar mereka tidak terlalu jauh memasuki daerah musuh. Karena akan menarik perhatian mereka untuk mengetahui posisi pertahanan pasukan TP. Sampai pergantian hari, tidak ada kejadian penting. Pasukan TP tetap berjaga di pos masing-masing.
Semua sadar bahwa serangan mendadak tentara Belanda bisa datang sewaktu-waktu untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda itu.
Malam Dingin yang Mencekam
Malam itu hujan turun sangat deras, bagai dicurahkan dari langit. Tetapi anggota Regu 1 tak ada yang beranjak dari posnya. Dan lubang-lubang pertahanan yang mereka tempati telah menjadi kolam-kolam kecil. Pasukan tetap bertahan semalam suntuk dengan perut kosong dan terendam air setinggi dada. Malam itu kekawatiran akan diserbu tentara Belanda benar-benar memuncak.
Komnadan Regu 1, Djokomono, disertai Imam Sukotjo memeriksa anak buah dari satu ke lain lubang. Dari satu ke lain pos. Akhirnya setelah yakin bahwa semua anggota pasukannya tetap waspada dan siap tempur, kedua orang ini mencari tempat berteduh disekitar jembatan dan menemukan sebuah kandang kerbau yang kosong.
Di Pos TP Sulawesi, Sukiman bersama 9 orang temannya menempati pos di sekitar pertigaan (saat ini di salah satu sisinya telah berdiri tugu peringatan pertempuran/ Palagan Sidobunder). Tempatnya di sebuah kandang dan lumbung desa. Semua berpencar sesuai instruksi yang mereka peroleh sore itu. Sekitar tengah malam, terdengar suara “ uukk..” seperti ayam jantan berkokok. Ketika didekati ternyata tidak ada hal yang mencurigakan. Tapi suara itu muncul lagi di tempat lain. Kewaspadaan pasukan TP ditingkatkan.
Kira-kira jam satu dini hari ada dua orang yang berpakaian adat Jawa mengirim kopi panas dan singkong rebus kepada Sukiman dan teman-temannya dengan permintaan agar kiriman itu segera dihabiskan. Tetapi, Sukiman satu-satunya orang yang dapat berbahasa Jawa memberi perintah agar kedua orang itu segera meninggalkan pos mereka dan tak perlu menunggu kiriman itu dihabiskan. Di belakang hari akhirnya diketahui bahwa ini merupakan taktik musuh untuk menghabisi pasukan RI dengan cara mudah. Terbukti, di Puring, kejadian serupa menimpa empat anggota pasukan TRI dan semuanya tewas. Mereka memang mata-mata musuh.
2 September 1947. Hari masih gelap menjelang Subuh. Tiba-tiba Komandan Sie 321 dikejutkan oleh rentetan bunyi senapan mesin dari berbagai penjuru. Disusul oleh kedatangan Letnan Achmad Dimajati yang member tahu bahwa posisi pasukan RI telah dikepung tentara Belanda dari segala arah.
Setelah mempelajari situasi, mas Anggoro memutuskan agar pasukan yang terkepung mengadakan stoot (pergerakan pasukan) kea rah Timur guna meloloskan diri dari kepungan itu.
Untuk menyiapkan pergerakan pasukan itu, diperintahkan kepada pasukan PERPIS agar diperkuat dengan senapan mesin buatan Jepang, Juki, untuk menghambat pergerakan pasukan musuh. Kepada Soejitno, Komandan Sie 321 memerintahkan agar segera menghubungi pasukan di garis depan yang dikomandani Djokonomo ditarik mundur dan menggabungkan diri dengan pasukan induk yang berpusat di Desa Sidobunder.
0 komentar:
Posting Komentar