cropping dari foto dari foto di situs : http://aniesbaswedan.com/ |
Oleh : Anies Baswedan
Pengantar saya:
Ketika semakin banyak orang pesimis dengan politik dan politisi karena maraknya kasus korupsi dan tindak asusila dilakukan oleh mereka yang membuat negeri ini semakin mendekat dengan jurang kehinaan, Anies Baswedan memberi gambaran lain. Memang ada baiknya direnungkan dan dipahami maknanya “Ayahmu, Ibumu tidak membiarkan dan tak pernah jadi bagian yang membuat Republik ini keropos. Di saat orang berduit membayar dukungan, Ayahmu, Ibumu tak menjual dukungan. Ayah-ibumu membantu orang-orang baik dengan tanpa dibayar. Harga diri Ayah-Ibumu tidak bisa dirupiahkan!”.
Sekali lagi, ini hanya berlaku untuk orang yang jelas baik. Bukan untuk para penjual negara dan agama. Dan bukan pula untuk yang telah menamatkan RUU Lambang maupun menghambat #RUUKepalangmerahan . Relawan PMI tak hanya urun angan, karena telah berusaha maksimal melakukan upaya beradab dan berlandaskan prinsip dasar kemanusiaan.
***
Indonesia harus diurus oleh orang
baik: bersih dan kompeten. Republik
ini didirikan oleh para pemberani. Kaum terdidik yang sudah selesai dengan
dirinya. Efeknya dahsyat. Bung Karno dan generasinya membuat sebangsa bergerak.
Semua merasa ikut punya Indonesia. Semua
iuran tanpa syarat demi tegaknya bangsa merdeka, berdaulat. Ada yang iuran
tenaga, pikiran, uang, barang dan termasuk iuran nyawa. Tapi merdeka itu bukan cuma soal
menggulung kolonialisme, merdeka adalah juga soal menggelar kemakmuran dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kini pada siapa Republik ini akan
dititipkan untuk diurus?
Besok kita akan menentukan. Semua
yang terpilih dalam Pemilihan Umum ini akan mengatasnamakan kita semua 24 jam
sehari, 7 hari seminggu selama 5 tahun ke depan. Semua perkataan, perbuatan yang
dilakukan adalah atas nama kita semua. Semua Undang-Undang dan Peraturan
Daerah yang dibuatnya akan mengikat kita semua.
Di saat tantangan bangsa ini masih
banyak yang basic seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
transportasi, atau energi maka apapun partai-nya, tantangan yang harus dijawab
sama. Di saat hambatan terbesar negeri ini adalah korupsi, dan hulunya korupsi
adalah urusan kekuasaan maka apapun partainya akan berhadapan dengan otot kokoh
koruptor yang sama.
Pemilu ini bukan soal warna partai.
Ini soal orang bermasalah dan tak bermasalah. Orang bermasalah ada di berbagai
partai. Begitu juga orang baik tersebar di semua partai. Pemilu
kali ini harus jadi ajang kompetisi orang tak bermasalah, orang baik lawan
orang bermasalah.
Kita harus memastikan bahwa orang
yang terpilih akan hadir untuk mengurus bukan menguras negara. Ini Pemilu ke-4
di era demokrasi, sudah saatnya jadi ajang kebangkitan wong waras, kebangkitan
orang bersih, dan jadi penghabisan orang bermasalah.
Indonesia membutuhkan kemenangan
orang baik. Kita perlu orang bersih dan kompeten berbondong-bondong menang
dalam pemilihan umum. Persyaratan
utama bagi orang-orang baik untuk kalah dan tumbang dalam pemilu adalah
orang-orang baik lainya hanya menonton dan tak membantu.
Indonesia kini penuh dengan penonton:
ingin orang baik menang di Pemilu, ingin Indonesia jadi lebih baik tapi hanya
mau iuran harap, urun angan. Ada keengganan kolektif untuk terlibat, untuk
membantu.
Keengganan dan skeptisisme itu sering
dilandasi pandangan: buat apa membantu toh orang-orang baik justru terjerat
korupsi. Ini seperti urusan sepatu kotor. Buat apa membersihkan
sepatu, toh bisa terkotori lagi. Tapi kalau dibersihkan rutin, dipakai dengan
baik, dijaga dari cipratan kotor maka sepatu itu akan aman, akan bersih. Kalau
pun terkotori, tugas kita adalah memastikan bahwa sepatu itu rutin
dibersihkan.
Di Republik ini, tugas kita adalah
lima tahun sekali membersihkan pengurus Indonesia dan mengisinya dengan
orang-orang tak bermasalah. Kalaupun ada yang terkena masalah, biar diganjar hukuman
dan kita ganti. Lalu tiap 5 tahun kita “kirim” orang baik lagi.
Sejak kapan kita jadi bangsa yang
suka putus asa? Tugas kita adalah mensuplai orang baik terus menerus. Kita
harus jaga stamina, perjalanan bangsa ini masih amat panjang dan stok orang
baik di Republik ini masih amat banyak. Tak ada alasan untuk pamer keluh kesah
dan “nglokro”.
Kita bersyukur saat melihat ada orang
baik mau repot-repot masuk politik. Lihat bermunculan orang-orang baik yang
terpilih jadi gubernur, bupati, walikota atau anggota dewan perwakilan.Makin
panjang deretan nama orang bersih dan kompeten, orang baik yang terpanggil, mau
turun tangan. Tetapi mereka
semua hanya bisa menang, memegang otoritas jika orang baik lainnya bersedia
untuk terlibat dan membantu.
Permasalahan yang dihadapi begitu
banyak orang baik yang jadi caleg adalah mereka cenderung dijauhi. Yang
menjauhi sering justru lingkungan terdekatnya. Politik di Indonesia hari ini
amat rendah nilainya di depan publik. Korupsi yang dilakukan oleh para politisi
telah merendahkan makna politik dan politisi.
Politik dan politisi tidak lagi
dipandang sebagai arena perjuangan dan pejuang. Kerja politik dipandang sebagai
mata pencaharian dan segalanya harus dirupiahkan. Para calon yang baik itu tergerus
oleh opini bahwa semua calon itu sama: sekadar cari kuasa untuk menguras -bukan
untuk mengurus- negeri. Orang baikpun makin sedikit yang mau turun tangan.
Makin sedikit orang baik yg “siap” dituding sama dengan kelakuan para penguras
negeri.
Jika orang-orang baik hanya mau jadi
pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang akan mengatur penggunaan uang pajak
kita? Keputusan soal kesehatan, pendidikan, perumahan atau tenaga kerja
misalnya adalah keputusan politik. Di arena yang oleh publik dipandang rendah,
kotor dan tak bernilai itulah keputusan tentang hajat hidup orang serepublik
ini dibuat. Patutkah kita diamkan?
Masih adakah caleg baik? Ya, Indonesia masih punya stok
orang baik; orang bersih dan kompeten. Tapi mereka tidak akan bisa menang,
mendapatkan otoritas untuk mengatasnamakan kita, untuk mewakili kita, jika kita
semua tidak ikut membantu. Sekali
lagi, korupsi dalam politik itu merajalela bukan semata-mata karena orang jahat
jumlahnya banyak tetapi karena orang-orang baik memilih diam, mendiamkan dan
bahkan menjauhi.
Republik ini adalah milik kita semua.
Bukan milik segelintir orang, apalagi orang-orang yang sanggup membayar siapa saja
untuk berbuat semaunya. Berhenti cuma urun angan. Harus mau turun
tangan!
Tak semua orang harus ikut partai
politik tapi saat pemilu jangan pernah diam, membiarkan orang-orang bermasalah
melenggang tak ditantang, tak dihentikan. Pada saat pemilu, harus muncul
kesadaran kolektif bahwa ini bukan upacara politik, ini kesempatan menempatkan
orang baik jadi pengurus negeri.
Cari dan kenali orang baik dalam
Daerah Pemilihan. Atau sekurang-kurangnya orang tak bermasalah. Jangan cari
manusia sempurna, takkan ketemu. Cari
orang bersih dan kompeten. Lihat track-recordnya, bukan cuma warna
partainya. Dan anak-anak generasi baru sudah terlibat, contohnya www.orangbaik.org yang dibuat oleh anak-anak umur 25
tahunan untuk melihat track record semua caleg. Kalau perlu datangi caleg
tersebut bukan untuk memberitahu akan mencoblos tapi beritahu bahwa siap untuk
membantu untuk bisa menang.
Bantu orang-orang tak bermasalah di
sekitar kita yang terpanggil untuk ikut mengurus Republik, agar mereka bisa
menang. Jangan pernah takut mendukung. Di
era non-demokratis dulu, sikap mendiamkan dalam sebuah pemilu adalah sikap
perlawanan; kini mendiamkan adalah sikap pembiaran atas status-quo. Bukan warna partainya, tapi warna
track-recordnya. Ini adalah
sikap yang melampaui warna partai; semangatnya adalah mengisi dengan orang
baik.
Kini kita menyaksikan gelombang baru
yang sedang bangkit. Generasi baru yang bergerak dan membantu karena percaya,
ide dan integritas. Bukan generasi yang mau menjual dukungan karena
rupiah.
Pilihan untuk membantu orang baik di
dalam Pemilu adalah pilihan sejarah. Hari ini mungkin nampak tak populer, masih
nampak aneh jika ada kemauan untuk terlibat dan membantu para caleg tak
bermasalah.
Dunia bergerak ke arah perbaikan tata
kelola yang baik (good governance).
Korupsi tidak bisa langgeng, ia makin hari makin tergerus. Bayangkan suatu saat kelak,
generasi anak-anak kita hidup di era baru dan bertanya: Ayah-ibu, di zaman
politik Indonesia masih penuh korupsi, apakah Ayah-Ibu ikut korupsi, atau diam,
atau ikut melawan?
Saat itulah pilihan sejarah tadi
menemukan jawabnya: jika hari ini Anda mau berbuat, mau terlibat maka sekurang-kurangnya
Anda bisa menjawab dengan rasa bangga. “Ayahmu,
Ibumu tidak membiarkan dan tak pernah jadi bagian yang membuat Republik ini
keropos. Di saat orang berduit membayar dukungan, Ayahmu, Ibumu tak menjual
dukungan. Ayah-ibumu membantu orang-orang baik dengan tanpa dibayar. Harga diri
Ayah-Ibumu tidak bisa dirupiahkan!”
Izinkan anak-anak kita bangga saat
sadar bahwa mereka mewarisi negeri yang Ayahnya, Ibunya ikut meninggikuatkan.
Di saat ada kesempatan mengubah wajah kita sendiri, wajah Indonesia kita, maka
kita tak cuma diam. Kita pilih
ikut bersihkan Indonesia, jadikan orang baik sebagai pemegang amanah di negeri
kita.
Anies Baswedan di sini.
0 komentar:
Posting Komentar