20/03/14

Indonesia Bicara Indonesia - Bagian Satu


Musibah hilangnya pesawat komersial Malaysian Air MH370 dan pencalonan Jokowi sebagai presiden hampir menyita seluruh perhatian publik melebihi porsi berita seputar kampanye pemilu legislatif 2014.  Tentang pesawat hilang, banyak spekulasi muncul dari beragam kalangan. Dari orang biasa sampai mantan orang-orang intelejen. Tak jauh beda dengan pencapresan Jokowi yang masih mengandung sejumlah kontroversi. Media sosial jadi ajang panas kedua berita itu.

Indonesia hari ini tengah menghadapi sejumlah tantangan besar menyangkut keutuhan negeri yang kian hari bukan bertambah baik. Justru sebaliknya, masalah ketahanan nasional masih dibayangi isu perpecahan karena beragam sebab. Pertama, praktik politik sektarian yang memunculkan sejumlah daerah pemekaran tanpa pertimbangan strategis yang matang. Kecenderungan ini ditengara hanya merupakan penyaluran syahwat politik orang-orang yang hanya ingin berkuasa. Sehingga mereka bisa jadi raja kecil di wilayah itu. Biasanya isu lokal yang diangkat adalah efektivitas daya jangkau ke pusat pemerintahan. Atau kedekatan budaya masyarakat lokal yang ingin dibawa serta dalam isu pemekaran itu. 


Hal ini karena evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah menunjukkan bahwa dari 217 daerah otonomi baru (DOB), 80% di antaranya berkinerja buruk dan tidak mampu menghimpun pendapatan asli daerah (PAD).  Beberapa DOB tersebut bahkan dinilai gagal. Daerah-daerah itu hanya sibuk membentuk pemerintahan dan berbelanja peralatan serta bergantung pada pada pendanaan dari transfer pemerintah pusat. Tetapi pada saat bersamaan mereka mengabaikan peningkatan pelayanan masyarakat.

Pendulum ternyata berat sebelah. Otonomi daerah selama sepuluhtahun lebih ternyata sering mengalami defisit serta penuh paradoks dan anomali dalam kebijakan maupun implementasi. Selain nihilnya aspek kesejahteraan sebagai parameter dan output final otonomi, semakin tampak kelihatan wajah bopengnya daripada peningkatan kesejahteraan masyarakat setelah diberlakukannya otonomi daerah.

Sebut saja sejumlah di antaranya, seperti maraknya kasus korupsi, banyaknya perda yang tidak kondusif bagi iklim investasi dan pemerintah daerah yang cenderung menggunakan “segala cara” untuk menggenjot PAD, perubahan pelayanan publik yang tak signifikan, suburnya oligarki elite politik di tingkat lokal, serta rendahnya komitmen elite daerah dalam mewujudkan kesejahteraan jelas menunjukkan melencengnya arah desentralisasi. Kebijakan dan Implementasi Kebijakan otonomi daerah yang diatur undang-undang memang merupakan langkah pembaruan besar dalam sejarah desentralisasi dan pemerintahan daerah di Indonesia. Tetapi, dari segi kebijakan maupun aspek implementasi, UU tersebut memiliki sejumlah kelemahan, yang mengakibatkan seringnya terjadi irasionalisasi politik dalam pelaksanaannya.

Ketahanan nasional di bidang ekonomi memang merupakan indikator yang sangat penting dalam memajukan kesejahteraan umum. Praktik politik sektarian yang terjadi di berbagai lini dan sisi kehidupan membuat banyak upaya mencapai derajat kemakmuran rakyat berjalan tertatih-tatih. Pihak yang memiliki kedekatan hubungan dengan penguasa lokal lebih banyak diuntungkan dibanding masyarakat umum yang jumlahnya jauh lebih besar. Meski telah menerapkan mekanisme lelang online misalnya, sejumlah proyek yang menguras sisa APBD yang telah dikuras oleh alokasi belanja rutin antara 50 - 70% dinikmati oleh sekte atau klan penguasa lokal. Praktik ini telah menjadi rahasia umum dan masyarakat pada umumnya tak bisa berbuat banyak untuk mengoreksinya.

Kolaborasi antara penguasa lokal, politisi sektarian dan pengusahaan jejadian (dalam bentuk jual beli stempel atau nama perusahaan). Ada beberapa pos anggaran yang menjadi incaran utama kelompok ini. Proyek-proyek pembangunan gedung pemerintahan dan sarana fisik, hibah atau bantuan sosial serta biaya perjalanan dinas. Banyak kasus korupsi Bupati Kebumen misalnya yang dilakukan di awal masa pasca reformasi dan tidak ditindak-lanjuti dengan alasan klasikal kurang bukti formal. Sementara itu, dana bantuan banjir tahun 2000 dari sebuah lembaga kemanusiaan luar negeri yang pernah menjadi bahan gurauan para relawan di lapangan tak jelas ujung pangkalnya. Baru pada kasus korupsi pembangunan ruas jalan Soka - Klirong   yang menyeret tersangka Plt. Kepala Dinas PU Kabupaten Kebumen diteruskan pada tahap penyidikan setelah ada audit BPK. 

Kasus di atas hanya sebuah sisi gelap yang tengah berusaha diterangkan kepada publik tentang kolaborasi praktik politik sektarian yang terjadi di sebuah wilayah kecil dan masih berada di empat besar kelompok daerah miskin di satu provinsi pada 2010.  Dengan tingkat pendapatan asli daerah yang sekitar 6-7%, target ambisius pengurangan kemiskinan menjadi 15,7% di akhir masa jabatan bupati sekarang (2015) dari 22,71 % (2010); 21,37% (2011) dan pada tahun 2012 sebesar 20,03 % ibarat mengarungi samudera raya dengan ban bekas. Besar harap dari pada usaha dan pencapaiannya. Apalagi setelah terjadinya penggrebekan terduga teroris di Kecamatan Kutowinangun beberapa waktu lalu. 

Integritas wilayah dan kesejahteraan ekonomi adalah dua tantangan besar bersamaan waktu berlakunya AFTA (Asean Free Trade Area) 2015 bukan sebuah pekerjaan ringan yang bisa diselesaikan sekejap baik dengan atau tanpa pencitraan tokoh yang kelak akan memimpin Indonesia. Entah Joko Widodo ( mobil murah dan proyek gagal Esemka Jokowi) yang dicitrakan dengan gaya "demokrasi jalanan" atau lebih dikenal dengan istilah blusukan (jadi ingat proyek Dara Putih (Ratih TV) di masa pemerintahan Rustriningsih yang saat itu dijuluki Srikandi Indonesia oleh Megawati SP). Siapapun dia, masalah Indonesia adalah kompleks. 

0 komentar:

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.