Sofa bambu buatanku berusia 11 tahun. |
Semula aku
berhitung saja, tanpa baca dan tulis. Apalagi memecahkan masalah. Berhari-hari
ragu ini menggelayut di benak. Aku memang masih tak percaya pada institusi yang
orang-orang sebut sebagai partai politik sejak namaku terdaftar sebagai pemilih.
Ketika itu hanya ada tiga kontestan dan semuanya hanya boneka mainan sang
penguasa lalim yang jatuh karena kecongkakannya. Siapa lagi kalau bukan
Soeharto yang mengangkat dirinya sejajar dengan Panglima Besar Soedirman,
pejuang sejati Indonesia Merdeka.
Di dalam keluarga,
kami dididik sebagai nasionalis karena kedua orangtua memang demikian. Soekarno
adalah idola. Tapi sejak belajar ilmu ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta
di kota perjuangan Yogyakarta, kutemukan idola baru yang sebenarnya pernah terbayangkan.
Beliau itu Bung Hatta yang juga seorang nasionalis meski dibesarkan oleh
keluarga Masyumi. Penggagas Siasat Ekonomi ini bukan singa podium seperti
sejawatnya Soekarno yang terkenal di seantero jagad.
Bung Hatta
adalah sosok sederhana, teguh pendirian dan lebih banyak berbuat dari pada
berbicara. Konsep ko-operasi dalam Siasat Ekonomi yang digagasnya kini memang
menjadi sebuah institusi negara yang mengurus kegiatan ekonomi masyarakat lapis
bawah. Meski pernah diteruskan oleh sang menantu, Prof. Edi Swasono, arah
pengembangan konsep ekonomi kerakyatan yang diterjemahkan oleh Prof. Mubyarto
sebagai Ekonomi Pancasila kian menjauh dari akar atau roh Siasat Ekonomi. Kini,
sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia sudah sangat liberal. Mungkin lebih
liberal dari Amerika Serikat yang
acapkali disebut sebagai “biang”-nya.
Perjalanan
mengikuti jejak sang maestro, Bung Hatta, bukan hanya dalam pemikiran. Tahun
1987 pernah berusaha mewujudkan di lingkungan Keluarga Besar ex Tentara Pelajar
di Yogyakarta tapi kandas di tengah jalan karena tanpa pengalaman. Bermodal
semangat para pelajar pejuang kemerdekaan RI saja kurang mumpuni. Merugi secara
ekonomi dan sosial. Kondisi ini sempat membuatku menjauhkan diri dari pergaulan
luas. Tapi mengarah proses kontemplasi yang tak pernah terbayangkan akan
terjadi begitu cepat dan dahsyat.
Awal 1990-an, bangkit
rasa percaya diri dan memulai langkah baru. Menanggalkan semua atribut dan
berupaya jadi manusia baru sebagai perajin bambu. Banyak yang ternganga, dan
satu dua orang mencibir. Satu diantaranya pernah terdengar langsung di
telingaku. ”Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau hanya jadi tukang bambu”.
Yah..status sosial perajin kala itu memang tak lebih baik dari buruh tani atau
penarik becak yang tak perlu berpendidikan formal. Apalagi sampai tingkat universitas.
Meski sangat menyakitkan perasaan, tapi langkahku tak mungkin berhenti sampai
di sini hanya karena sebutan yang sebenarnya tak pernah diketahui maknanya oleh
si penyebut. The show must go on. Maju terus pantang mundur!
Kesempatan emas
mengenal lebih dalam tentang perbambuan datang dari Kantor Dinas Perindustrian
di tempat tinggalku untuk mengikuti pelatihan manajemen kerajinan dan desain di
Jakarta. Dari sini kesempatan berkembang semakin terbuka karena sempat berpameran
di Jakarta Desain Center yang saat itu merupakan tempat pameran bergengsi.
Untuk melengkapi kekurangan, kuajak perajin anyaman pandan Desa Grenggeng
Karanganyar agar ikut memamerkan hasil karya mereka. Juga ketika kegiatan serupa
dilakukan di Balai Kerajinan DKI di Jl. TB Simatupang Lebakbulus. Singkat kata,
ada tembahan semangat dan keyakinan diri menekuni bidang ini.
Seritikat Pelatihan Manajemen Kerajinan dan Desain Bambu dari YPDKI-1990. |
Mental berwirausaha
yang telah dibangun susah payah akhirnya
tumbang oleh realita bahwa perlu dukungan lingkungan. Tambahan bekal pelatihan
Pengembangan Motivasi Berwirausaha (Achievement Motivation Training-AMT)
mestinya mampu menguatkan asa. Sayang sekali, pertahananku rapuh dan mendorong
keinginan untuk menjadi “anak buah” terus menguat dengan semakin menipisnya
kekuatan finansial. Ibarat bertinju, aku knock out dan minggir dari arena
berwirausaha. Jakarta – Natuna – Banten adalah “tempat pelarianku” sebelum
tugas kemanusiaan memuliakan orangtua memanggil kembali ke tanah lahir. Kebetulan
ada informasi bahwa aku masih diberi kesempatan menyelesaikan pendidikan formal
yang terbengkelai sekitar satu dasawarsa. Alhamdulillah aku mampu memberi
kebanggaan terakhir kepada almarhum ayah yang dipanggil kembali ke haribaanNya dua
minggu setelah hari wisudaku.
0 komentar:
Posting Komentar