14/03/14

AKU HARUS TURUN TANGAN - Episode Pintasan

Sofa bambu buatanku berusia 11 tahun.

Semula aku berhitung saja, tanpa baca dan tulis. Apalagi memecahkan masalah. Berhari-hari ragu ini menggelayut di benak. Aku memang masih tak percaya pada institusi yang orang-orang sebut sebagai partai politik sejak namaku terdaftar sebagai pemilih. Ketika itu hanya ada tiga kontestan dan semuanya hanya boneka mainan sang penguasa lalim yang jatuh karena kecongkakannya. Siapa lagi kalau bukan Soeharto yang mengangkat dirinya sejajar dengan Panglima Besar Soedirman, pejuang sejati Indonesia Merdeka.

Di dalam keluarga, kami dididik sebagai nasionalis karena kedua orangtua memang demikian. Soekarno adalah idola. Tapi sejak belajar ilmu ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta di kota perjuangan Yogyakarta, kutemukan idola baru yang sebenarnya pernah terbayangkan. Beliau itu Bung Hatta yang juga seorang nasionalis meski dibesarkan oleh keluarga Masyumi. Penggagas Siasat Ekonomi ini bukan singa podium seperti sejawatnya Soekarno yang terkenal di seantero jagad.

Bung Hatta adalah sosok sederhana, teguh pendirian dan lebih banyak berbuat dari pada berbicara. Konsep ko-operasi dalam Siasat Ekonomi yang digagasnya kini memang menjadi sebuah institusi negara yang mengurus kegiatan ekonomi masyarakat lapis bawah. Meski pernah diteruskan oleh sang menantu, Prof. Edi Swasono, arah pengembangan konsep ekonomi kerakyatan yang diterjemahkan oleh Prof. Mubyarto sebagai Ekonomi Pancasila kian menjauh dari akar atau roh Siasat Ekonomi. Kini, sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia sudah sangat liberal. Mungkin lebih liberal dari Amerika Serikat  yang acapkali disebut sebagai “biang”-nya.

Perjalanan mengikuti jejak sang maestro, Bung Hatta, bukan hanya dalam pemikiran. Tahun 1987 pernah berusaha mewujudkan di lingkungan Keluarga Besar ex Tentara Pelajar di Yogyakarta tapi kandas di tengah jalan karena tanpa pengalaman. Bermodal semangat para pelajar pejuang kemerdekaan RI saja kurang mumpuni. Merugi secara ekonomi dan sosial. Kondisi ini sempat membuatku menjauhkan diri dari pergaulan luas. Tapi mengarah proses kontemplasi yang tak pernah terbayangkan akan terjadi begitu cepat dan dahsyat.

Awal 1990-an, bangkit rasa percaya diri dan memulai langkah baru. Menanggalkan semua atribut dan berupaya jadi manusia baru sebagai perajin bambu. Banyak yang ternganga, dan satu dua orang mencibir. Satu diantaranya pernah terdengar langsung di telingaku. ”Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau hanya jadi tukang bambu”. Yah..status sosial perajin kala itu memang tak lebih baik dari buruh tani atau penarik becak yang tak perlu berpendidikan formal. Apalagi sampai tingkat universitas. Meski sangat menyakitkan perasaan, tapi langkahku tak mungkin berhenti sampai di sini hanya karena sebutan yang sebenarnya tak pernah diketahui maknanya oleh si penyebut. The show must go on. Maju terus pantang mundur!

Kesempatan emas mengenal lebih dalam tentang perbambuan datang dari Kantor Dinas Perindustrian di tempat tinggalku untuk mengikuti pelatihan manajemen kerajinan dan desain di Jakarta. Dari sini kesempatan berkembang semakin terbuka karena sempat berpameran di Jakarta Desain Center yang saat itu merupakan tempat pameran bergengsi. Untuk melengkapi kekurangan, kuajak perajin anyaman pandan Desa Grenggeng Karanganyar agar ikut memamerkan hasil karya mereka. Juga ketika kegiatan serupa dilakukan di Balai Kerajinan DKI di Jl. TB Simatupang Lebakbulus. Singkat kata, ada tembahan semangat dan keyakinan diri menekuni bidang ini.

Seritikat Pelatihan Manajemen Kerajinan dan Desain Bambu dari YPDKI-1990.



Mental berwirausaha  yang telah dibangun susah payah akhirnya tumbang oleh realita bahwa perlu dukungan lingkungan. Tambahan bekal pelatihan Pengembangan Motivasi Berwirausaha (Achievement Motivation Training-AMT) mestinya mampu menguatkan asa. Sayang sekali, pertahananku rapuh dan mendorong keinginan untuk menjadi “anak buah” terus menguat dengan semakin menipisnya kekuatan finansial. Ibarat bertinju, aku knock out dan minggir dari arena berwirausaha. Jakarta – Natuna – Banten adalah “tempat pelarianku” sebelum tugas kemanusiaan memuliakan orangtua memanggil kembali ke tanah lahir. Kebetulan ada informasi bahwa aku masih diberi kesempatan menyelesaikan pendidikan formal yang terbengkelai sekitar satu dasawarsa. Alhamdulillah aku mampu memberi kebanggaan terakhir kepada almarhum ayah yang dipanggil kembali ke haribaanNya dua minggu setelah hari wisudaku.       

0 komentar:

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.