24/05/13

Menelisik Perjalanan Diaspora Indonesia – Bagian II



Pro dan kontra pembentukan Jejaring Diaspora Indonesia (Indonesia Diaspora Network-IDN) mewarnai perjalanan mereka. Di tengah penyelenggaraan Kongres I Diaspora Indonesia di Los Angeles Convention Center, Amerika Serikat: 6 – 8 Juli 2012  yang menggunakan dua bahasa: Inggris dan Indonesia dan dibuka dengan lagu Tanah Air oleh anak penyanyi kondang Broery Pesolima, Laya Pesolima didampingi 3 penyanyi latar, ada demonstarsi kecil oleh sekelompok orang yang mengatas-namakan kaum minoritas Kristiani. Meski tidak mengganggu jalannya kongres itu, video demonstrasi yang ditayangkan You Tube ini menjadi bukti bahwa niat ribuan diaspora Indonesia untuk menyatukan pikiran, daya dan laku menuju satu Jejaring Diaspora Indonesia akan mengalami tantangan. Tentang adanya tantangan itu, inisiator Diaspora Indonesia yakni Dr. Dino Patti Djalal di tengah acara Lokakarya Nasional Diaspora Indonesia di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Selasa 26 Februari 2013. Tujuh tantangan itu adalah sebagai berikut:

1.      Pertama, adalah diaspora Indonesia harus mengerti dan memahami semua komunitas diaspora Indonesia.
2.      Pemerataan komunitas diaspora Indonesia di seluruh wilayah.
3.      Ketiga, anggota diaspora harus mulai bergaul di luar area komunitas mereka sendiri.
4.      Mencari cara untuk dapat memastikan gerakan ini akan bertahan lama. Menurut Dino, sebuah komunitas diaspora yang sukses adalah komunitas yang memulai gerakannya diam-diam. Setelah gerakannya dinilai besar, baru kemudian dipublikasikan.
5.      Tidak terjebak menjadi komunitas yang terlalu birokratis. Semua ide dan jaringan dari para anggota dapat mengalir dengan alami dan tidak dipaksakan.
6.      Harus menghindari konflik internal di antara anggota diaspora Indonesia.
7.      Sementara tantangan ketujuh adalah menghindari keterlibatan di dunia politik Indonesia.

Dijelaskan oleh inisiator, bahwa saat ini masih belum mampu memastikan jumlah dan keberadaan para diaspora Indonesia itu. Perkiraan angka moderat 6 – 8 juta orang atau angka optimis sekitar 10 juta orang adalah satu angka prediktif melalui pengamatan dan hasil interaksi dengan berbagai komunitas diaspora Indonesia pasca pelaksanaan Kongres I. Hal ini saya anggap masuk akal karena pada sesi pembukaan yang seorang peserta dari Afrika Selatan yang masih bertalian darah dengan tokoh penyebaran Islam di sana, Syeh Yusuf yang berasal dari Makassar menceritakan secara antusias latar belakang diaspora Indonesia di bekas negeri apartheid itu. Ia seorang politisi dan anggota parlemen. Namanya Dr. Ibrahim Rasul (seperti nama mantan anggota KPK di jaman pak Bibit Samad jadi ketuanya).

Dalam paparannya yang cukup panjang tentang misi diaspora “ …we’re moslem, but Indonesian. We’re Indonesian, but the human being.. that’s enough. It’s our vision “. Sebelum mengucapkan hal itu, beliau memaparkan kisah perjuangan Syekh Yusuf (Makasar) dan Tuan Guru dari Tidore di bidang pendidikan dan kesetaraan hak (asasi) manusia. Yang tak kalah penting dari isi sambutannya ialah cerita para orang Indonesia di Afrika Selatan dalam mendukung perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda dan Inggris.  
Mengamati kisah-kisah perjalanan diaspora Indonesia di berbagai belahan penjuru dunia baik melalui berita on line, reportase televise dan video You Tube, ada satu kesamaan di antara banyak perbedaan yang mengemuka. Diaspora Indonesia cinta dan ingin berbuat sesuatu buat Indonesia. Bagi mereka, Indonesia bukan hanya tanah lahir yang layak dikenang dari sisi manisnya. Tapi ada kepercayaan besar bahwa Indonesia adalah satu kekuatan yang saat ini masih tercerai-berai. Satu diantaranya adalah mereka sendiri, diaspora Indonesia. Melalui ikatan batiniah yang sangat sulit diukur dengan angka baik jumlah orang maupun aset yang dimiliki, potensi kekuatan yang masih tersimbang dalam masing-masing Diaspora Indonesia akan coba dipadukan dengan kekuatan yang ada di tanah air, Indonesia Raya.

Seperti umumnya sebuah gerakan besar yang diawali dengan gagasan mulia, tentu akan banyak mengalami tantangan dan hambatan. Bagaimana seorang Henry Dunant yang sudah mapan secara sosial dan ekonomi pada awalnya dicibir dan ditentang oleh banyak orang di negerinya, justru mendapat apresiasi tinggi di luar negaranya dalam menumbuh-kembangkan Gerakan kemanusiaan yang sekarang telah mendunia sebagai Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional sebagai satu gerakan yang diakui derajat kepercayaannya sangat tinggi. Konsistensi memelihara nilai dasar (core value) gerakan dalam mengaktualisasikan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan dan kesemestaan adalah jaminan kepercayaan itu.

Dalam beberapa hal, gagasan menyelenggarakan Jejaring Diaspora Indonesia memiliki kesamaan dengan gerakan yang digagas oleh Henry Dunant. Terutama dalam asas kemanusiaan dan kesamaan. Memang banyak diaspora Indonesia yang dilatarbelakangi masalah ekonomi atau perbaikan nasib. Tetapi tidak sedikit yang asalnya atau faktor pendorong utama menjadi diaspora adalah sebagai korban konflik politik dan sosial di Indonesia.  Bagi korban konflik politik, tantangannya lebih besar dari pada yang menjadi korban konflik sosial. Faktor traumatiknya juga lebih besar ketimbang yang beralasan ekonomi atau perbaikan nasib dalam artian umum.

Di balik sejumlah tantangan yang diidentifikasikan oleh penggagasnya di atas tentu ada peluang yang dapat menambah bobot kekuatan (potensi kekuatan) mereka. Anggap dan perlakukan tantangan itu sebagai peringatan dini atau upaya mitigasi sebelum berubah menjadi bencana. Dan saya yakin mereka telah mengetahui serta mengantisipasi semua tantangan itu dengan cermat. Jebakan-jebakan pragmatis yang bernuansa politik seperti permintaan menjadi satu daerah pemilihan khusus saya yakin akan dihindari sebagai satu tema besar untuk sementara waktu. Pada tataran wacana, hal itu sangat dimungkinkan mendapat tempat. Tapi, menjadikan wacana itu sebagai satu keputusan konkret dan mendesak dalam Kongres II Diaspora Indonesia yang bertema “Pulang Kampung” di Jakarta bulan Agustus mendatang, nampaknya akan sulit diwujudkan. Terutama bagi korban konflik politik nasional maupun lokal.  

0 komentar:

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.