01/03/13

Hilangnya Senyum Sang Mentari



Tanah air Indonesia pernah dikenal sebagai sorga, jamrud di katulistiwa. Ketika VOC datang hendak membeli hasil bumi, khususnya rempah-rempah, mereka tertarik untuk “mendalami” bumi Nusantara yang satu diantaranya berisi kelompok manusia congkak yang suka menjajah bangsa sendiri. Kelompok inilah yang difasilitasi VOC agar keinginan menguasai seluruh wilayah dan segala isi tanah air dapat diwujudkan. Mereka terdiri dari raja-raja kecil, kelompok-kelompok yang menentang kekuasaan raja/ratu yang didaulat oleh rakyatnya dan para pelaku kriminal (garong, begal, rampok dan sejenisnya).

Secara kasat mata, Indonesia yang dilintasi garis katulistiwa memang tak pernah kehilangan senyum sang mentari. Tetapi senyum itu kini berubah “cibiran” sejak pagi hingga berganti hari. Dan dalam beberapa hari terakhir, cuaca panas hampir merata di seluruh negeri. Dari ibukota Jakarta, silih berganti muncul berita pemeriksaan dan penahanan para petinggi partai politik oleh KPK. Ada Anas Urbaningrum dari PD yang selama ini berkesan santun dan sederhana harus berurusan dengan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia ini. Ada juga Lutfi Hasan Ishaq dari PKS yang tersangkut kasus impor daging sapi. Dan  banyak kasus serupa yang nampaknya masih menjadi bom waktu. Menunggu giliran meledak atau diledakkan.

Hilangnya kesederhanaan Anas dan banyak pejabat politik di negeri ini tentu banyak dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan perlindungan hukum formal dari hulu sampai hilir. Di lingkungan hulu, kasus tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Gubernur Akpol jelas tidak sebanding dengan kasus nenek Ijah yang mencuri makanan untuk mengganjal perut kosongnya. Satu di antara banyak sekali contoh ketidak-adilan sosial. Betapa rusaknya lingkungan sosial dan budaya masyarakat Indonesia oleh perilaku para pemimpinnya.  Irjenpol Djoko Susilo bukan saja telah menghianati amanah orang tuanya yang memberi nama dirinya sebagai lelaki susila. Fakta itu hanya menguatkan dugaan bahwa Polri telah dihuni dan dikendalikan oleh orang-orang “berselera tinggi” serupa Djoko Susilo. Setidaknya, selaku mantan Gubernur Akpol, selera Djoko tentu telah dibaca dan dipahami cukup gamblang oleh orang-orang di sekitarnya. Mulai dari mahasiswa, staf pengajar dan mungkin juga petugas kebersihan di kampus yang mendidik para calon petinggi Polri itu.

Dengan logika sederhana, Anas dan Lutfi tidak sendirian. Dalam kasus Anas misalnya, mantan bendahara PD Nasarudin sejak awal telah mengaitkan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepadanya dengan peran dan posisi Anas. Lalu, bagaimana dengan Djoko yang selama ini berkecimpung di “sarang macan” ? Berbeda dengan Anas, Djoko tidak akan gegabah menyangkut-pautkan dengan para koleganya di Polri. Apalagi membawa nama sang pimpinan. Ia sangat paham tentang hal itu, termasuk risikonya. Tapi, mungkinkah seorang petinggi setingkat Djoko yang berpangkat Irjen (letnan jendral) bekerja sendirian ? Kalaupun ia akan mengaku bekerja sama dengan “orang dalam”, mereka adalah anak buah yang harus menerima perintah atasan tanpa reserve. Jawaban yang lebih jelas mungkin akan nampak di persidangan kelak.

Kasus Djoko mengingatkan kita pada sosok pak Hugeng, mantan Kapolri yang sangat bersahaja. Selaku manusia biasa, pak Hugeng tetap punya kekurangan yang dapat dimaklumi oleh publik adalah sebagai perwujudkan sisi kemanusiaannya. Dan kerinduan atas sosok pemimpin yang tegas serta sederhana  seperti beliau bukan sekadar ekspresi bernuansa nostalgia semata. Sosok polisi yang sederhana dan berwibawa memang bukan hanya ada dalam diri Pak Hugeng. Saat ini, banyak anggota Polri yang jujur dan menjaga sumpahnya sebagai abdi negara. Tak mengejar pangkat dan jabatan, apalagi kekayaan berlimpah ruah dengan memanfaatkan posisinya selaku pelayan dan pelindung masyarakat.

Dalam tulisan saya di “ Catatan Perjalanan Kebangsaan, Renungan Jelang Hari Merdeka”  telah disebut bahwa masyarakat – bangsa Indonesia dijajah kembali bukan oleh bangsa asing, tapi justru dilakukan oleh bangsa sendiri. Ketika dijajah oleh bangsa asing, semua elemen bersatu padu dalam satu asa dan daya agar merdeka dan tetap merdeka. Sebaliknya, di saat penjajahan dilakukan oleh bangsa sendiri dalam beragam bentuk dan skala, elemen-elemen itu tercerai berai. Ada yang berusaha mempertahankan diri agar kelompoknya tetap eksis dengan cara membangun kerajaan-kerajaan kecil di jalanan, kantor-kantor dan di segala tempat. Secara perlahan dan pasti akhirnya mereka mampu mendirikan kembali dinastinya. Mungkin dengan nama dan bentuk lain. Tetapi esensinya sama : menjadi kelompok penguasa melalui jejaring formal maupun non formal. Di dunia politik, mereka menanamkan “para petualang” agar dapat melancarkan misi dan visinya. Begitu juga di bidang sosial dan ekonomi. Bahkan di bidang agama yang semestinya jadi ladang amal ditebar bibit-bibit pemecah belah umat. Ada yang mendapat julukan “jarkoni (bisa ngajar, ra bisa nglakoni = omdo / omong doang atau nato/ no action, talking only dan lain-lain sebutan serupa).

Penjajahan di era modern memang lebih halus dan terselubung beragam jenis tirai: teknologi, ekonomi, budaya dan mungkin juga agama. Penjajahan melalui teknologi misalnya bisa lewat jejaring sosial di internet, piranti lunak dan keras atau yang lainnya. Sedangkan di bidang ekonomi bisa berupa praktik monopoli, kartel dan lain-lain. Praktik-praktik yang di negara asalnya telah banyak ditinggalkan. Indonesia justru mengimpor dan mengaplikasikannya melalui beragam alasan dan tangan. Kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya yang dapat membuat manusia Indonesia bermartabat justru dilemahkan. Akibatnya, tingkat ketergantungan kita pada bangsa asing sulit dihindari. Bahkan bertambah kuat karena kuatnya praktik perilaku menjajah.  

Betapapun berat dan sulit tantangan yang dihadapi, kita masih bisa berharap munculnya senyum sang mentari yang menghangatkan semangat hidup dan menumbuhkan generasi tahu diri sebagai anak – anak Ibu Pertiwi. Yang menyadari bahwa kehidupan sekarang adalah bagian dari perjalanan dari masa lalu. Ketika para syuhada bertaruh nyawa, apalagi sebatas jumlah harta benda dan jabatan untuk merebut dan menegakkan kemerdekaan bangsanya dari cengkeraman asing. Mendudukkan sejajar dengan bangsa-bangsa lain agar derajat kemanusiaannya diakui sama. Karena merdeka bukan hanya teriakan dan genggam buku-buku tangan yang mengepal. Dan kemerdekaan Indonesia adalah tangga menuju puncak kemanusiaan yang adil dan beradab. Haruskah kita mengingkari semua kenyataan itu?

Tanpa merdeka kita hina
karena merdeka itu benar adanya
Bukan pemberian manusia
apalagi dari tangan penjajah
dan mereka itu angkara
tak pernah membiarkan
setiap jejak langkah tuk kuatkan
asa jadi nyata
Haruskah kita berpaling dan membuang muka ?
sebagai anak-anak Ibu Pertiwi
yang setiap saat menerima sinarnya
Air susu bukan tuba….

Jagalah senyumnya
Sang mentari sejuk di ujung pagi
hangat di puncak hari
Dan meredup sampai berganti hari
Selama hayat dikandung badan

0 komentar:

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.