24/07/12

Catatan Perjalanan Kebangsaan, Renungan Jelang Hari Merdeka



Perjalanan Indonesia mewujudkan diri sebagai Bangsa merdeka yang bersatu, adil dan makmur semakin terseok dalam ketidak-berdayaan karena anak-anaknya kian menjauh dari jati dirinya. Bung Karno pernah berujar “ jas merah.. jangan lupakan sejarah”. Sejarah sebagai alur cerita perjalanan hidup manusia mengandung beragam makna. Ada yang mengangkat sisi obyektif agar menjadi bahan pembelajaran tentang kejujuran dan kearifan. Ada pula yang mengedepankan sisi subyektif karena kapasitas pengetahuan dan pengalaman yang sangat terbatas, penonjolan diri berlebihan atau pelibatan faktor emosional yang begitu mendalam.

Dalam satu kesempatan diskusi antar unsur DHC 45 setempat, saya (mewakili ex Tentara Pelajar) pernah melontarkan pendapat yang kemudian dinilai menohok. Bahwa sesungguhnya umur negara Indonesia hanya 5 (lima) tahun yaitu dari 1945 – 1950. Selebihnya kita dijajah oleh bangsa sendiri. Meski tidak ada tanggapan baik sanggahan maupun pertanyaan, saya telah menyiapkan jawaban yang ringkasannya sebagai berikut.

1.      Masa pemerintahan Presiden Soekarno yang dipopularkan dengan sebutan Orde Lama (orla) 1950 – 1965 adalah fase transisional. Masih diliputi oleh suasana heroisme patriotik, Bung Karno dan para pemuka politik nasional melakukan banyak eksperimen untuk meyakinkan bantuk ideal Indonesia yang memiliki beragam sumber daya. Kompromi politik dengan para petinggi NIT (Negara Indonesia Timur) menimbulkan adanya UUDS 1950 dan RIS (Republik Indonesia Serikat) yang berumur sekitar satu dasawarsa. Karena dinilai makin menyimpang dari cita – cita Proklamasi 17-8-1945, muncul  Dekrit Presiden 1959 yang intinya berisi keputusan mengembalikan UUD 1945 dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Lima tahun berikutnya, kekuasaan Soekarno selaku Presiden dihentikan paksa yang konon karena Supersemar. Peristiwa ini masih menyisakan beberapa pertanyaan besar dan luka teramat dalam bagi sebagian orang. 

2.      Jendral Soeharto yang menjadi figur sentral di masa Orde Baru berkuasa selama hampir empat dasawarsa cenderung narsistik. “Gue banget” istilah popularnya. Sampai hal mendasar yakni Pancasila yang menjadi dasar negara, filosofi ( core values ) bangsa dan pedoman hidup bermasyarakat Indonesia tak luput dari hal itu. Muncul gerakan indoktrinasi massal melalui P4, menina-bobokan dengan beragam subsidi, memisahkan dunia pendidikan dari induknya (kebudayaan) yang menyebabkan proses erosi mental dan moral kebangsaan secara sistemik. Dan yang sangat ekslusif adalah reinkarnasi budaya feodalistik dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Pegawai Negeri Sipil dan sejenisnya dikondisikan sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah), bukan abdi negara. Tidak mengherankan jika perilaku para petinggi di lingkungan pemerintah (dan dunia politik) cenderung menjadi penguasa. Bukan pemimpin. Imbasnya tentu saja sampai ke lapisan terbawah. Praktik KKN adalah wujud nyatanya.

3.      Periode terakhir yang dipopularkan dengan istilah Orde Reformasi tak jauh berbeda dari dua fase perjalanan sejarah kebangsaan sebelum itu. Kesan sebagai ajang “balas dendam” semakin hari kian menampakkan diri secara telanjang. Dunia politik yang begitu diagungkan, banyak diisi oleh para petualang yang enggan bersusah payah memahami konsep dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diinginkan oleh para pendiri Indonesia Merdeka. Partai tak pernah diusahakan secara bersungguh-sungguh selaku “ pusat pendidikan politik “ masyarakat oleh para pengurusnya. Ia tak lebih dari sekadar “ kendaraan menuju puncak kekuasaan”. Omong kosong untuk yang memastikan adanya “basis politik”. Kalaupun ada, mereka adalah  “kantong suara” yang setiap saat bisa bolong karena minimnya pemeliharaan. Lebih khusus lagi, hal itu hanya terjadi dalam partai tertentu yang memiliki kadar militansi tinggi.
 
Jelang usia republik ini 67 tahun, beraneka upaya untuk memelihara cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia memang terus dan akan selalu dilakukan oleh beragam kalangan dengan berbagai macam bentuk dan isinya. Tapi ada satu hal penting yang selalu menjadi ganjalan yakni ketika upaya yang ingin diwujudkan atau sedang diusahakan itu bermotif perebutan kekuasaan dalam segala bentuknya kecuali di bidang kebudayaan. Karena budaya adalah representasi kehendak atas keutamaan budi pekerti, tumbuh dari kesadaran hakiki dan berkembang dalam ruang-ruang  kalbu. Dalam dan sangat luas. Semoga.

0 komentar:

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.