24/03/10

Antara Yang Banyak dan Yang Baik




Dalam catatan harian ibu saya ketika akan pindah tempat mengabdi selaku guru SD dari kota kelahiran Ibu Kartini ke kota kelahirannya di Purworejo, ada tulisan atau lebih tepat disebut pesan pribadi Kepala Sekolah Guru Putri (SGP) Yogyakarta akhir tengah tahun 1949. Isinya pendek saja. ” Pelan tapi pasti.. bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak“. Berkali-kali saya tanyakan arti dan maknanya, ibu selalu berkata, ” coba kamu pikir dan renungkan sendiri“.

Secara umum, arti banyak itu lebih dari satu. Dan baik sama dengan tidak buruk. Suatu yang banyak tidak selalu mengandung kebaikan. Apalagi jika berlebihan. Contoh sederhana adalah makan. Naluri kemanusiaan ini jika diisi untuk satu atau dua porsi mungkin masih cukup baik bagi tubuh kita. Lebih dari itu, biasanya menimbulkan gangguan pada sistem pencernaan manusia pada umumnya. Keluhan demi keluhan akan bermunculan dalam jangka pendek atau panjang.

Baik merupakan wujud penilaian. Ada yang obyektif, subyektif atau transedental. Nilai obyektif dan subyektif adalah bagian dari hubungan antar manusia. Sementara itu, nilai transedental merupakan wujud hubungan antara manusia dan Tuhan yang Maha Pencipta. Keduanya acapkali dipisahkan dengan beragam alasan.

Dalam tulisan ini, kedua pola hubungan tidak dipisahkan sesuai pandangan hidup bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Akhir-akhir ini banyak disebut dalam berbagai kesempatan, bahwa bangsa Indonesia tengah mengalami situasi krisis multidimensional. Kata multi berarti banyak. Ketika harus bersanding dengan kata krisis maknanya jadi tidak baik. Dari sini kita dapatkan kesimpulan bahwa yang banyak itu tidak baik. Apakah semua hal dan selamanya akan muncul kesimpulan seperti itu ?
Tentu saja tidak. Ada banyak kebaikan yang dapat kita lakukan di dunia ini. Memberi seteguk air bagi yang kehausan, menunjukkan arah yang benar ketika ditanyakan tujuan yang kita tahu, dan banyak hal lain yang berujung pada kebaikan untuk diri sendiri serta orang lain. Jika kebanyakan orang Indonesia berbuat satu kebaikan saja, niscaya krisis yang mencakup banyak dimensi ini akan berakhir dengan banyak kebaikan. Sebaliknya, jika kebanyakan dari kita mengabaikan satu kebaikan saja, dapat dipastikan krisis multidimensional yang tengah mengelilingi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat Indonesia akan menimbulkan masalah yang lebih besar, rumit dan berkepanjangan. Pilihan ada di tangan kita.

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana, 21 Oktober 2009..saya munculkan kembali sebagai hadiah khusus. Terima kasih atas segala apresiasinya. Salam.

0 komentar:

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.