Dalam karyanya
berjudul “Tembang Negeri Jajahan” dengan sangat jelas Bambang Oeban menyebut
nama Rafles (Thomas Stamford Rafles). Orang Inggris pertama yang jadi Gubernur Letnan
(bukan Jenderal, seperti dalam masa pemerintahan Belanda) di masa penjajahan
bangsa-bangsa asing sekitar tahun 1812 – 1816. Kegeraman sang penyair kepada
tokoh yang satu ini tercermin pada bait syair :
Raffles,
Dari Inggris
kaubawa otakmu ke tanah Jawa
Kau
tumbangkan kuasa raja pribumi dengan siasat
Keilmuan
leluhur digilas oleh kemahiran membaca
peta budaya kehidupan
bangsa yang lemah
lewat riset
dan fakta informasi
Warna
politikmu menghanyutkan
merubah
pikiran para penguasa pribumi
Pantai pantai, Bandar-bandar, lalu lintas lautan
dalam gengaman dengan bahasamu
yang menghanyutkan
telah kau asingkan raja yang kalah,
lalu kau pelihara raja pribumi dengan mas kawin tipu
daya perjanjian
Rafles, tajam bius akal hasutmu
Kau bangun kekuatan militer demi membela rakyat
yang tertindas dari raja pribumi yang kau hujat jahat,
padahal kau terus menumpuk rempah-rempah
di gudang terbuat dari keringat rakyat
Apa kuasamu,
tentara kerajaan dalam pengawasan ?
Kedu,
Pacitan, Jipang dan Grobogan jadi seserahan
Tata ekonomi
kamu monopoli
Memang Rafles
tlah mengungsi dikebumikan sejarah
Tapi sikapmu
banyak yang meneladani
Bagaimana
ini?
Mengapa hanya
Rafles ? Bukan Daendels? Kedua tokoh utama dalam sejarah penjajahan bangsa
asing di Indonesia punya kerserupaan: memerintah dengan tipu daya. Rafles
mungkin otaknya lebih encer karena mampu menemukan “cara halus” dalam hal pemetaan
budaya. Cara ini juga mengandaikan ia
akan bersekutu dengan para bangsawan keraton untuk memuluskan jalan menginvasi
pulau Jawa. Kerja rodi yang sangat ditentang oleh para sultan/ kasunanan di masa kekuasaan Daendels diganti dengan sistem
sewa tanah secara proporsional.
Dari beragam sumber
yang berhasil dihimpun, gaya kepemimpinan Rafles cenderung reformatif.
Menata-ulang bangunan tanpa mengganti fondasinya. Fondasi yang ditinggalkan
oleh pendulunya, Daendels, ingin ditata seperti suasana di negerinya: Britania
Raya. Ada perpaduan antara humanis yang tercermin dari kecintaannya pada budaya
lokal, imperialis sesuai dengan misi utama menduduki tanah Jawa dan petualang
yang romantik. Di tataran ekonomi, ia ternyata pengagum berat Adam Smith
tentang pasar bebas. Perpaduan kepribadian yang sangat unik inikah yang
menjadikan dirinya jadi obsesif?
Cukup sulit
menerjemahkan “kegeraman” Bambang Oeban dengan kondisi faktual di Indonesia
saat ini. Satu hal yang dapat saya pahami dari “nuansa Rafles” adalah seorang reformis
melankolik. Di satu sisi, ia sangat menginginkan adanya pembaruan di dalam
pemerintahannya dengan menerapkan kebijakan berbeda dari pendahulunya.
Reformasi birokrasi yang ia lakukan adalah membagi Pulau Jawa menjadi 16
karesidenan, menurunkan kekuasaan bupati jadi setingkat wedana (pembantu bupati
di masa Orba) atau camat. Dan memaksa pola administrasi pertanahan dikelola
langsung di tingkat desa oleh lurah yang sebagian besar buta huruf menggantikan
pola tanam paksa dan kerja rodi di jaman Daendels. Inilah yang dikenal sebagai
kebijakan landrente (kontrak sewa
tanah). Akibat salah sasaran, kebijakan ini berubah menjadi “penguasaan hak
atas tanah” diberikan kepada para pemodal kuat dari suku Cina dan India. Lurah
yang semula dianggap sebagai figur pemimpin demokratis kemudian diposisikan sebagai “tukang
stempel/ cap jempol” karena
kebuta-hurufannya. Boleh jadi, perubahan pola kebijakan itulah yang membuat
para juragan jadi tuan tanah. Dan akhirnya jadi raja-raja kecil.
Di masa reformasi
sekarang, pola pikir Rafles yang berlandaskan pada kekuatan pasar bebas di
tangan raja-raja kecil dapat diterjemahkan sebagai “teladan” yang berlaku umum.
Raja-raja kecil ada di mana-mana. Gedung DPR/DPRD, pemerintah dari pusat sampai
ke pelosok. Di jalanan sampai ke rumah-rumah keluarga dsb. Jika opini tak mampu
berpihak, maka “otot” harus jadi panglima. Artinya, kekerasan dalam segala
bentuk dan skalanya adalah wujud dari keteladanan itu. Rakyak boleh dibodohi
dengan sejumlah pelipur lara: BLT, Jamkesmas, beras gakin dll. Toh kuasa tetap
berpihak pada proses tawar menawar yang menghasilkan keuntungan tinggi.
Kecintaan luar
biasa pada sang istri yang usianya lebih tua dan diakui cerdas (pintar)
diwujudkan dengan mendirikan monumen di salah satu sudut Istana Bogor adalah
satu bukti kepribadian Rafles yang melankolik. Dan kesukaannya pada budaya lokal:
bahasa, artefak (penelitian candi-candi dan peninggalan kuno) serta pendirian
lembaga ilmu pengetahuan dan budaya nampaknya tak jauh dari pribadi
melankoliknya. Ia menentang perbudakan fisik, tapi membiarkan “penjajahan
intelektual”. Kontroversial!
Memahami kegundahan
sang penyair sama sulitnya dengan mendalami kepribadian seseorang “hanya” dari
karya-karyanya. Masa perkenalan yang sangat pendek membuat subyektivitas saya
lebih dominan. Dalam cerita sekilasnya, Bambang Oeban pernah merasakan “keterjajahan”
ketika ia akan dilenyapkan dengan cara misterius. Bukan sekadar penyingkiran
sistematis seperti dialami Bung Hatta di jaman Nasakom maupun Orba dan
orang-orang yang dianggap sebagai “the enemy of the state”.
Subyektivitas saya
memang banyak didorong oleh “kesamaan nasib” sebagai anak pejuang yang selalu
memegang prinsip kejuangannya. Mungkin, di sisi inilah, kepekaan sosial kami
terasah. Merdeka itu soal prinsip karena itu hak hidup manusia yang paling
asasi. Hanya Sang Mahakuasa yang berhak mengambilnya, bukan manusia. Apalagi
penjajah, dalam segala rupa dan caranya tentu saja. Hanya diingat ketika
situasi darurat (dalam rerangka yang narsistis juga tentunya).
3 komentar:
Yang Bernama Bambang Oeban alias Bambang Wahyono justru telah banyak melakukan kecurangan, manipulasi, menipu banyak teman-teman sesama seniman, melakukan hal-hal tak kemanusiaan, melakukan pelanggaran hukum, dan bersikap tak bertanggung jawab. Semua ada bukti-bukti akurat dan saksi-saksi nyata. Belakangan melakukan aksi penipuan di kota Yogyakarta dengan merugikan banyak pihak dan menfitnah dengan mencemarkan nama orang-orang yang telah berupaya maksimal mendukungnya dalam proses berkarya.
Kami harap untuk semua rekan-rekan seniman dan budayawan lain tidak terkecoh dengan mulut manis muluk-muluknya yang sangat terbukti telah beretika tak berbudaya dan tak bermoral. Becik ketitik, olo ketoro. Mohon dicermati latar belakangnya, dan siapa orang-orang yang andil dibalik karya seorang Bambang Oeban. Semoga jadi pelajaran bagi rekan-rekan lain untuk menyikapi budayawan-budayawan palsu yang semata-mata mencari ketenaran dan keuntungan materi dari jerih payah seniman-seniman lainnya dengan telah mengatasnamakan upaya dirinya sendiri sebagai pahlawan. Sikap dan karakter yang sungguh jauh dari bijaksana dan tak pantas disebut budayawan negeri yang terhormat... Salam budaya murni nan luhur...
Ini hari ulang tahun pernikahanku,
aku seorang Bambang Oeban alias Bambang Wahyono
yang telah menikahi Esti Hidayatinigsih...
17 Juli 2012 lalu.
Isteri ketiga-ku yang telah aku sia-siakan
dan tak kunafkahi,
Meski dalam waktu singkat telah banyak berjasa untukku
memperjuangkan dan mendukungku mati-matian
sebagai isteri yang setia dan berbakti...
Sungguh malang nasibmu,
semua karena keterbatasanku
Karena keadaanku dikendalikan kedua isteri tua-ku.
yaiktu si Sri, dan si Hindun
Urat malu-ku telah terputus
Harga diriku telah koyak
Harus bagaimana lagi?
Manusia macam apa aku ini,
sebagai lelaki aku begitu pengecut.
Aku tak pantas disebut seniman sejati
ataupun budayawan...
apalagi disebut kesatria
Aku pecundang tak tahu diuntung,
aku tak tahu bersyukur.
Aku telah dikalahkan nafsu egois,
dan angkara murka yang menguasaiku.
Silahkan kutuk aku...
aku memang pantas menerimanya.
Semoga jawaban yg saya copas dari status Facebook Bambang Oeban 18 Juli 2013 adalah jawaban yang anda tunggu. Saya hanya berharap, hubungan pribadi anda berdua dapat diperbaiki di bulan suci Ramadhan 1434H ini. Semoga Allah SWT memberi hidayah. Amien.
Posting Komentar