Layar kaca telah kehilangan warna
cerita sejarah bangsa tiada berguna
musuhnya cuma remote control
Inilah kabar negeriku
cerita sejarah bangsa tersingkir
oleh anak bangsanya sendiri
Warisan suci nenek moyang
dibiarkan menggelandang di bawah jembatan
pada peradaban tehnologi modern
Buku sejarah kebudayaan bangsa,
dibumihanguskan oleh robot penakluk
produk impor atas nama pemujaan
akan selera kemaksiatan
Mesin-mesin
waktu terus memburu
menggilas
bacaan dan tatanan kebangsaan
Anak bangsa
jadi dibutakan sudut pandang
Situasi
negeri dibanjiri bacaan dan tontonan
kiriman
bangsa asing yang menjajah
tata budaya
yang jelas tak sama
Norma susila
bangsa dirubah ujudnya
digilas pasar
serba bebas !
Inikah cerita
tragedi sejarah anak bangsa
Tanggung
jawab siapa?
Gundah penyair
Bambang Oeban adalah realita kehidupan saat ini. Ketika tontonan jadi tuntunan.
Lihat dan simak program acara di semua saluran televisi. Monoton dan penuh plagiat. Menghujat sana atau
menghakimi sini. Dari terbit sampai
tenggelam matahari dan berganti hari. Saluran yang semula ingin fokus pada sisi
edukatif, berubah jadi saluran yang mengklaim sebagai saluran bagi penggemar
aliran musik tertentu sebelum diambil alih satu grup perusahaan yang tengah
naik daun. Apalagi kalau bukan untuk
alasan kocek dan meraup iklan.
Coba perhatikan di
sekeliling kita. Berapa banyak anak dan orangtua (terutama ibu) yang
menghabiskan waktu menonton televisi dengan remote control selalu di tangan? Apa
yang ditonton dan bagaimana dampaknya buat keluarga? Soal yang ditonton, bisa
menu acara apapun. Tetapi dampak yang ditimbulkan akan berbeda-beda, tetapi
kita akan sangat mudah mendapati orang-orang yang autis (asyik dengan
dirinya, lupa atau menunda tanggung-jawab utama). Jangankan membaca buku
sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Memilih program acara yang bukan berita
dan gosip selebriti dan sinetron duplikatif opera sabun dan sejenisnya saja
sudah agak baik.
Dunia hiburan di
jaman modern ini telah menembus dinding budaya, etika, moral dan agama. Filter
budaya tak lagi mampu menyaring desakan produk dan jasa teknologi digital.
Imbauan atau batasan intenet sehat hanya sebaris iklan layanan masyarakat
sekadar memenuhi anjuran pemerintah bagi penyedia jasa (seperti peringatan
pemerintah dalam bungkus rokok!). Dari telepon selular, seorang anak SD kelas I
dapat dengan mudah mengakses situs-situs porno atau permainan online yang penuh
kekerasan. Bahkan, dalam blog-blog yang sebenarnya berisi hal-hal bermanfaat
semisal pemahaman ahlak yang baik, tata cara beragama yang benar dan sejenisnya
terselit satu atau beberapa iklan seronok yang menampilkan aurat perempuan
secara terbuka.
Dampak teknologi
digital terhadap budaya lokal maupun nasional
bukan saka melemahkan, tetapi telah memasuki tahap penghancuran. Lebih
parah lagi, para pegiat budaya banyak yang terjebak pada sisi artefak
(artifisial) ketimbang “isi” yang
merupakan hasil pergulatan keadaban manusia dalam komunitas nasional. Dalam
pertunjukan wayang misalnya, nilai-nilai luhur peradaban manusia yang
melatar-belakangi cerita kurang menarik perhatian penonton ketimbang karaoke
campursari yang banyak diisi tampilan suara dan gerak sinden atau penyanyi
bersuara mendesah serta mengundang selera seksual. Suri teladan pada
tokoh-tokoh pewayangan acapkali tertutup gebyar panggung hiburan yang disukai
penonton untuk melepas kepenatan hidup.
Teknologi selalu
bias terhadap budaya. Produk-produk teknologi memang ditujukan untuk memudahkan
dan menurunkan kadar risiko celaka fisik pada manusia. Di sisi lain, produk
teknologi selalu membawa sejumlah nilai budaya masyarakat yang menghasilkannya.
Seiring dengan masuknya produk dan jasa teknologi digital ke Indonesia dari
“peradaban modern”, masuk pula nilai-nilai budaya efisien (murah) dan instan
(cepat jadi/matang). Anak-anak perempuan di Indonesia jadi lebih cepat matang
karena telah mengalami haid pertama di usia 9 – 10 tahun. Belum genap usia 11,
mereka telah merasakan “tanda-tanda kedewasaan”. Organ-organ seksualnya mulai
muncul dan menarik perhatian lawan jenis. Hal yang sama juga terjadi pada anak
laki-laki. Mereka telah memiliki dorongan seksual yang cukup kuat. Tanda-tanda
ini banyak yang lupa dipahami oleh para orang tua karena keasyikan bekerja atau
beraktivitas di luar rumah. Bagi yang ada di dalam rumah, banyak juga orang tua
yang autis secara sosial. Akibatnya, anak (seolah) dibiarkan tumbuh dan berkembang
tanpa pola asuh yang terarah dari orang tuanya. Semakin banyak kasus perkosaan,
pelecehan seksual dan beragam bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
bersumber dari autisme tadi.
Kegundahan Bambang
Oeban pada praktik “pasar bebas”, bila ditangkap maknanya, bukan sekadar dalam konteks ekonomi. Tetapi meluas
ke sisi-sisi rentan dalam peradaban manusia. Moralitas kini bisa
diperdagangkan sebagai komoditas sosial, politik dan budaya. Bahkan telah masuk ke ruang “sakral “ agama.
Apapun bisa diperdagangkan sepanjang “pasar bebas” tetap buka. Akibatnya, pasar
bebas telah membumi-hanguskan bangunan yang disebut bangsa Indonesia. Tanggung
jawab siapa ?
0 komentar:
Posting Komentar