19/03/13

Buku Sejarah Bangsaku - Menggali Gundah Penyair Bambang Oeban-Bagian Dua



Layar kaca telah kehilangan warna
cerita sejarah bangsa tiada berguna
musuhnya cuma remote control

Inilah kabar negeriku
cerita sejarah bangsa tersingkir
oleh anak bangsanya sendiri
Warisan suci nenek moyang
dibiarkan menggelandang di bawah jembatan
pada peradaban tehnologi modern

Buku sejarah kebudayaan bangsa,
dibumihanguskan oleh robot penakluk
produk impor atas nama pemujaan
akan selera kemaksiatan

Mesin-mesin waktu terus memburu
menggilas bacaan dan tatanan kebangsaan
Anak bangsa jadi dibutakan sudut pandang
Situasi negeri dibanjiri bacaan dan tontonan
kiriman bangsa asing yang menjajah
tata budaya yang jelas tak sama
Norma susila bangsa dirubah ujudnya
digilas pasar serba bebas !
Inikah cerita tragedi sejarah anak bangsa
Tanggung jawab siapa?



Gundah penyair Bambang Oeban adalah realita kehidupan saat ini. Ketika tontonan jadi tuntunan. Lihat dan simak program acara di semua saluran televisi.  Monoton dan penuh plagiat. Menghujat sana atau menghakimi sini.  Dari terbit sampai tenggelam matahari dan berganti hari. Saluran yang semula ingin fokus pada sisi edukatif, berubah jadi saluran yang mengklaim sebagai saluran bagi penggemar aliran musik tertentu sebelum diambil alih satu grup perusahaan yang tengah naik daun.  Apalagi kalau bukan untuk alasan kocek dan meraup iklan.

Coba perhatikan di sekeliling kita. Berapa banyak anak dan orangtua (terutama ibu) yang menghabiskan waktu menonton televisi dengan remote control selalu di tangan? Apa yang ditonton dan bagaimana dampaknya buat keluarga? Soal yang ditonton, bisa menu acara apapun. Tetapi dampak yang ditimbulkan akan berbeda-beda, tetapi kita akan sangat mudah mendapati orang-orang yang autis (asyik dengan dirinya, lupa atau menunda tanggung-jawab utama). Jangankan membaca buku sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Memilih program acara yang bukan berita dan gosip selebriti dan sinetron duplikatif opera sabun dan sejenisnya saja sudah agak baik.

Dunia hiburan di jaman modern ini telah menembus dinding budaya, etika, moral dan agama. Filter budaya tak lagi mampu menyaring desakan produk dan jasa teknologi digital. Imbauan atau batasan intenet sehat  hanya sebaris iklan layanan masyarakat sekadar memenuhi anjuran pemerintah bagi penyedia jasa (seperti peringatan pemerintah dalam bungkus rokok!). Dari telepon selular, seorang anak SD kelas I dapat dengan mudah mengakses situs-situs porno atau permainan online yang penuh kekerasan. Bahkan, dalam blog-blog yang sebenarnya berisi hal-hal bermanfaat semisal pemahaman ahlak yang baik, tata cara beragama yang benar dan sejenisnya terselit satu atau beberapa iklan seronok yang menampilkan aurat perempuan secara terbuka.

Dampak teknologi digital terhadap budaya lokal maupun nasional  bukan saka melemahkan, tetapi telah memasuki tahap penghancuran. Lebih parah lagi, para pegiat budaya banyak yang terjebak pada sisi artefak (artifisial)  ketimbang “isi” yang merupakan hasil pergulatan keadaban manusia dalam komunitas nasional. Dalam pertunjukan wayang misalnya, nilai-nilai luhur peradaban manusia yang melatar-belakangi cerita kurang menarik perhatian penonton ketimbang karaoke campursari yang banyak diisi tampilan suara dan gerak sinden atau penyanyi bersuara mendesah serta mengundang selera seksual. Suri teladan pada tokoh-tokoh pewayangan acapkali tertutup gebyar panggung hiburan yang disukai penonton untuk melepas kepenatan hidup.

Teknologi selalu bias terhadap budaya. Produk-produk teknologi memang ditujukan untuk memudahkan dan menurunkan kadar risiko celaka fisik pada manusia. Di sisi lain, produk teknologi selalu membawa sejumlah nilai budaya masyarakat yang menghasilkannya. Seiring dengan masuknya produk dan jasa teknologi digital ke Indonesia dari “peradaban modern”, masuk pula nilai-nilai budaya efisien (murah) dan instan (cepat jadi/matang). Anak-anak perempuan di Indonesia jadi lebih cepat matang karena telah mengalami haid pertama di usia 9 – 10 tahun. Belum genap usia 11, mereka telah merasakan “tanda-tanda kedewasaan”. Organ-organ seksualnya mulai muncul dan menarik perhatian lawan jenis. Hal yang sama juga terjadi pada anak laki-laki. Mereka telah memiliki dorongan seksual yang cukup kuat. Tanda-tanda ini banyak yang lupa dipahami oleh para orang tua karena keasyikan bekerja atau beraktivitas di luar rumah. Bagi yang ada di dalam rumah, banyak juga orang tua yang autis secara sosial. Akibatnya, anak (seolah) dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa pola asuh yang terarah dari orang tuanya. Semakin banyak kasus perkosaan, pelecehan seksual dan beragam bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bersumber dari autisme tadi.

Kegundahan Bambang Oeban pada praktik “pasar bebas”, bila ditangkap maknanya, bukan  sekadar dalam konteks ekonomi. Tetapi meluas ke sisi-sisi rentan dalam peradaban manusia. Moralitas kini bisa diperdagangkan sebagai komoditas sosial, politik dan budaya.  Bahkan telah masuk ke ruang “sakral “ agama. Apapun bisa diperdagangkan sepanjang “pasar bebas” tetap buka. Akibatnya, pasar bebas telah membumi-hanguskan bangunan yang disebut bangsa Indonesia. Tanggung jawab siapa ? 

0 komentar:

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.