Inilah kabar negeriku
buku sejarah dijajah kemajuan hayalan
selera gemar baca yang disimpangkan
dipertuan buku impor berjubal
menawarkan nikmatnya kekerasan
berbonus pukulan dan tendangan
Darah jadi simbol decak kagum
Entah mulai dari
mana kabar ini berembus, tapi kegelisahan Bambang Oeban adalah miniatur kegundahan
banyak orang yang menyadari bahwa negeri ini merdeka karena perjuangan
anak-anak bangsa. Bukan hadiah dari bangsa penjajah seperti negeri seberang
pulau kita. Dan tayangan kekerasan hampir
jadi menu harian di televisi dan media massa lainnya. Dari kekerasan fisik yang
menonjolkan kekuatan otot, sampai kekerasan mental berbuah teror dan
penyingkiran orang-orang yang dianggap menghalangi hasrat kekuasan atas
kehidupan dan penghidupan masyarakat. “Preman”
bukan lagi mewakili keadaan orang yang benar-benar “prei makan” alias kelaparan
karena tak ada bahan pangan untuk mengganjal perut kosongnya. Justru
sebaliknya, kebanyan dari mereka adalah orang-orang yang telah
berkecukupan materi dan berkelebihan kalau sekadar untuk memakan makanan yang 4
sehat 5 sempurna. Mereka adalah para “preman berdasi” yang menduduki posisi
atau hal penting di tengah masyarakat. Jika terusik kepentingannya, mereka tak
segan memakai tangan sendiri atau orang lain untuk memaksa. Mulai dari
intimidasi, penganiayaan dan kekerasan fisik lain. Sampai mematikan
sumber-sumber penghidupan orang (orang-orang) yang mengusiknya. Sementara itu,
derajat keterusikan itu tidak sebanding dengan “balasan” yang ia lakukan.
Congkak dan pendendam yang mengemuka.
Caci maki
jadi warna hidup sehari-hari
mengendap di
otak anak bangsa
Medan laga
berdarah
dianggap arena
permainan
yang mengasyikkan.
Para orang
tua kepusingan
mencari hiburan
di lampu remang
menghamburkan
uang hasil serabutan
Wajah rumah
tinggal pucat pasi
Bangunan
mewah hanya pameran
buku sejarah
tak kelihatan
terkalahkan
buku hiburan
Yah… buku sejarah
adalah jurnal kehidupan yang berisi aneka ragam nilai. Ada yang bertambah, ada
juga yang berkurang. Boleh jadi akan ada koreksi atas catatan keliru di masa
lalu. Tujuan utamanya adalah menjaga akuntabilitas. Itu yang semestinya. Tapi,
yang banyak terjadi, justru isi jurnal kehidupan menampilkan hal-hal negatif.
Sementara itu, sisi positif sering diabaikan karena alasan yang mengada-ada. Mengasihani
diri jadi pegangan. Minta belas kasihan tak lagi jadi nyanyi orang-orang papa di
jalanan. Tanpa ragu dan malu, orang-orang yang berkecukupan harta benda itu
menjadi pengemis. Penghasilan tambahan ini menjadi modal dugem (dunia gemerlap di
tempat-tempat hiburan malam: diskotik, karaoke, pesta seks bebas dll). Bambang Oeban
menyebutnya dengan hiburan di lampu remang. Di tempat seperti itu, uang
hasil serabutan (mengemis, korupsi, manipulasi dan sejenisnya)
dihabiskan untuk membuang kepenatan (kepusingan). Jangankan buku sejarah
yang biasanya juga berisi nasihat dan teladan. Buku-buku pengetahuan umum yang
mencerahkan cakrawala pandang manusia dan menguatkan derajat kemanusiaannya
tentu akan diabaikan. Paling mungkin majalah hiburan semacam Playboy
yang mempertontonkan aurat dan mengundang nafsu birahi. Imbas dari keabu-abuan
sumber penghasilan dan kini semakin jelas dengan kasus tindak pidana pencucian uang
hasil korupsi (Irjenpol Djoko Susilo), tindak
pidana penggelapan pajak (Gayus Tambunan dll). Belum lagi sejumlah
kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik, PNS atau warga masyarakat
biasa. Keremangan lampu hanya satu bahasa kias dari ketidak-jelasan pengungkapan
dan penyelesaian KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Termasuk di dalamnya
adalah kasus-kasus konstitusional yang menguntungkan sebagian orang di lembaga legislatif,
eksekutif maupun yudikatif.
Inilah nasib buku sejarah bangsaku
sudah lama disingkirkan jadi pengangguran
Pengenangan perjuangan diabaikan
Para pahlawan dianggap jembatan
di abad kemajuan zaman
Di ruang perpustakaan
buku sejarah utuh bentuknya
terbengkelai terbungkus debu
terdiam dan dianggap bisu
dimakan waktu berlalu
Buku sejarah
bangsaku
dibiarkan tertindas
kemalangan
Buku-buku
menggiurkan
membuat anak-anak
jadi keranjingan
membuahkan
imaji aa ii uu
menicu nafsu sebelum waktu
praktik uji coba berlaku tak ragu
orang tua sibuk mengisi saku
Buku sejarah bangsaku
selalu memendam
seribu gerutu
Inilah kabar
negeriku
budaya
tontonan jadi ladang persaingan
demi
menjaring iklan meraup keuntungan
Aurat
diperdagangkan
tak peduli
nasib moral anak bangsa
sudah
plesiran tak tentu arah mau ke mana?
Uang orang
tua jadi sasaran
demi hasrat
mengikuti
gaya hidup
modern
Benang merah
kegeraman Bambang Oeban kepada Rafles nampak mulai dapat dibentangkan dengan
syair lain: “ Tembang Negeri Jajahan”. Ini yang akan jadi bahan galian
berikutnya agar lebih memudahkan jalan dalam mereflesikan syair-syair
kebangsaannya.
0 komentar:
Posting Komentar