Tanah air
Indonesia pernah dikenal sebagai sorga, jamrud di katulistiwa. Ketika VOC
datang hendak membeli hasil bumi, khususnya rempah-rempah, mereka tertarik
untuk “mendalami” bumi Nusantara yang satu diantaranya berisi kelompok manusia congkak
yang suka menjajah bangsa sendiri. Kelompok inilah yang difasilitasi VOC agar
keinginan menguasai seluruh wilayah dan segala isi tanah air dapat diwujudkan.
Mereka terdiri dari raja-raja kecil, kelompok-kelompok yang menentang kekuasaan
raja/ratu yang didaulat oleh rakyatnya dan para pelaku kriminal (garong, begal,
rampok dan sejenisnya).
Secara kasat
mata, Indonesia yang dilintasi garis katulistiwa memang tak pernah kehilangan
senyum sang mentari. Tetapi senyum itu kini berubah “cibiran” sejak pagi hingga
berganti hari. Dan dalam beberapa hari terakhir, cuaca panas hampir merata di
seluruh negeri. Dari ibukota Jakarta, silih berganti muncul berita pemeriksaan
dan penahanan para petinggi partai politik oleh KPK. Ada Anas Urbaningrum dari
PD yang selama ini berkesan santun dan sederhana harus berurusan dengan lembaga
pemberantasan korupsi di Indonesia ini. Ada juga Lutfi Hasan Ishaq dari PKS
yang tersangkut kasus impor daging sapi. Dan banyak kasus serupa yang
nampaknya masih menjadi bom waktu. Menunggu giliran meledak atau diledakkan.
Hilangnya
kesederhanaan Anas dan banyak pejabat politik di negeri ini tentu banyak
dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan perlindungan hukum formal dari hulu sampai
hilir. Di lingkungan hulu, kasus tindak pidana pencucian uang yang dilakukan
oleh mantan Gubernur Akpol jelas tidak sebanding dengan kasus nenek Ijah yang
mencuri makanan untuk mengganjal perut kosongnya. Satu di antara banyak
sekali contoh ketidak-adilan sosial. Betapa rusaknya lingkungan sosial dan budaya masyarakat
Indonesia oleh perilaku para pemimpinnya. Irjenpol Djoko Susilo bukan saja telah
menghianati amanah orang tuanya yang memberi nama dirinya sebagai lelaki susila. Fakta itu hanya menguatkan dugaan bahwa Polri telah dihuni dan
dikendalikan oleh orang-orang “berselera tinggi” serupa Djoko Susilo.
Setidaknya, selaku mantan Gubernur Akpol, selera Djoko tentu telah dibaca dan
dipahami cukup gamblang oleh orang-orang di sekitarnya. Mulai dari mahasiswa,
staf pengajar dan mungkin juga petugas kebersihan di kampus yang mendidik para
calon petinggi Polri itu.
Dengan logika
sederhana, Anas dan Lutfi tidak sendirian. Dalam kasus Anas misalnya, mantan bendahara
PD Nasarudin sejak awal telah mengaitkan tindak pidana korupsi yang dituduhkan
kepadanya dengan peran dan posisi Anas. Lalu, bagaimana dengan Djoko yang
selama ini berkecimpung di “sarang macan” ? Berbeda dengan Anas, Djoko tidak
akan gegabah menyangkut-pautkan dengan para koleganya di Polri. Apalagi membawa
nama sang pimpinan. Ia sangat paham tentang hal itu, termasuk risikonya. Tapi,
mungkinkah seorang petinggi setingkat Djoko yang berpangkat Irjen (letnan
jendral) bekerja sendirian ? Kalaupun ia akan mengaku bekerja sama dengan “orang dalam”,
mereka adalah anak buah yang harus menerima perintah atasan tanpa reserve.
Jawaban yang lebih jelas mungkin akan nampak di persidangan kelak.
Kasus Djoko
mengingatkan kita pada sosok pak Hugeng, mantan Kapolri yang sangat bersahaja.
Selaku manusia biasa, pak Hugeng tetap punya kekurangan yang dapat dimaklumi
oleh publik adalah sebagai perwujudkan sisi kemanusiaannya. Dan kerinduan atas sosok
pemimpin yang tegas serta sederhana seperti
beliau bukan sekadar ekspresi bernuansa nostalgia semata. Sosok polisi yang
sederhana dan berwibawa memang bukan hanya ada dalam diri Pak Hugeng. Saat ini,
banyak anggota Polri yang jujur dan menjaga sumpahnya sebagai abdi negara. Tak
mengejar pangkat dan jabatan, apalagi kekayaan berlimpah ruah dengan
memanfaatkan posisinya selaku pelayan dan pelindung masyarakat.
Dalam tulisan
saya di “ Catatan Perjalanan Kebangsaan, Renungan Jelang Hari Merdeka” telah disebut bahwa masyarakat – bangsa Indonesia
dijajah kembali bukan oleh bangsa asing, tapi justru dilakukan oleh bangsa
sendiri. Ketika dijajah oleh bangsa asing, semua elemen bersatu padu dalam satu
asa dan daya agar merdeka dan tetap merdeka. Sebaliknya, di saat
penjajahan dilakukan oleh bangsa sendiri dalam beragam bentuk dan skala,
elemen-elemen itu tercerai berai. Ada yang berusaha mempertahankan diri agar
kelompoknya tetap eksis dengan cara membangun kerajaan-kerajaan kecil di
jalanan, kantor-kantor dan di segala tempat. Secara perlahan dan pasti akhirnya
mereka mampu mendirikan kembali dinastinya. Mungkin dengan nama dan bentuk
lain. Tetapi esensinya sama : menjadi kelompok penguasa melalui jejaring formal
maupun non formal. Di dunia politik, mereka menanamkan “para petualang” agar
dapat melancarkan misi dan visinya. Begitu juga di bidang sosial dan ekonomi. Bahkan
di bidang agama yang semestinya jadi ladang amal ditebar bibit-bibit pemecah
belah umat. Ada yang mendapat julukan “jarkoni (bisa ngajar, ra bisa nglakoni =
omdo / omong doang atau nato/ no action, talking only dan lain-lain sebutan
serupa).
Penjajahan di
era modern memang lebih halus dan terselubung beragam jenis tirai: teknologi,
ekonomi, budaya dan mungkin juga agama. Penjajahan melalui teknologi misalnya
bisa lewat jejaring sosial di internet, piranti lunak dan keras atau yang
lainnya. Sedangkan di bidang ekonomi bisa berupa praktik monopoli, kartel dan
lain-lain. Praktik-praktik yang di negara asalnya telah banyak ditinggalkan. Indonesia
justru mengimpor dan mengaplikasikannya melalui beragam alasan dan tangan. Kemerdekaan
ekonomi, sosial dan budaya yang dapat membuat manusia Indonesia bermartabat
justru dilemahkan. Akibatnya, tingkat ketergantungan kita pada bangsa asing
sulit dihindari. Bahkan bertambah kuat karena kuatnya praktik perilaku
menjajah.
Betapapun berat
dan sulit tantangan yang dihadapi, kita masih bisa berharap munculnya senyum
sang mentari yang menghangatkan semangat hidup dan menumbuhkan generasi tahu
diri sebagai anak – anak Ibu Pertiwi. Yang menyadari bahwa kehidupan sekarang
adalah bagian dari perjalanan dari masa lalu. Ketika para syuhada bertaruh
nyawa, apalagi sebatas jumlah harta benda dan jabatan untuk merebut dan
menegakkan kemerdekaan bangsanya dari cengkeraman asing. Mendudukkan sejajar
dengan bangsa-bangsa lain agar derajat kemanusiaannya diakui sama. Karena
merdeka bukan hanya teriakan dan genggam buku-buku tangan yang mengepal. Dan
kemerdekaan Indonesia adalah tangga menuju puncak kemanusiaan yang adil dan
beradab. Haruskah kita mengingkari semua kenyataan itu?
Tanpa merdeka
kita hina
karena merdeka
itu benar adanya
Bukan pemberian
manusia
apalagi dari
tangan penjajah
dan mereka itu
angkara
tak pernah
membiarkan
setiap jejak
langkah tuk kuatkan
asa jadi nyata
Haruskah kita
berpaling dan membuang muka ?
sebagai
anak-anak Ibu Pertiwi
yang setiap saat
menerima sinarnya
Air susu bukan
tuba….
Jagalah
senyumnya
Sang mentari
sejuk di ujung pagi
hangat di puncak
hari
Dan meredup
sampai berganti hari
Selama hayat
dikandung badan
0 komentar:
Posting Komentar