Perjalanan
Indonesia mewujudkan diri sebagai Bangsa merdeka yang bersatu, adil dan makmur
semakin terseok dalam ketidak-berdayaan karena anak-anaknya kian menjauh dari
jati dirinya. Bung Karno pernah berujar “ jas merah.. jangan lupakan sejarah”.
Sejarah sebagai alur cerita perjalanan hidup manusia mengandung beragam makna. Ada
yang mengangkat sisi obyektif agar menjadi bahan pembelajaran tentang kejujuran
dan kearifan. Ada pula yang mengedepankan sisi subyektif karena kapasitas
pengetahuan dan pengalaman yang sangat terbatas, penonjolan diri berlebihan
atau pelibatan faktor emosional yang begitu mendalam.
Dalam
satu kesempatan diskusi antar unsur DHC 45 setempat, saya (mewakili ex Tentara
Pelajar) pernah melontarkan pendapat yang kemudian dinilai menohok. Bahwa
sesungguhnya umur negara Indonesia hanya 5 (lima) tahun yaitu dari 1945 – 1950.
Selebihnya kita dijajah oleh bangsa sendiri. Meski tidak ada tanggapan baik
sanggahan maupun pertanyaan, saya telah menyiapkan jawaban yang ringkasannya
sebagai berikut.
1.
Masa pemerintahan Presiden Soekarno yang
dipopularkan dengan sebutan Orde Lama (orla) 1950 – 1965 adalah fase
transisional. Masih diliputi oleh suasana heroisme patriotik, Bung Karno dan
para pemuka politik nasional melakukan banyak eksperimen untuk meyakinkan
bantuk ideal Indonesia yang memiliki beragam sumber daya. Kompromi politik
dengan para petinggi NIT (Negara Indonesia Timur) menimbulkan adanya UUDS 1950
dan RIS (Republik Indonesia Serikat) yang berumur sekitar satu dasawarsa.
Karena dinilai makin menyimpang dari cita – cita Proklamasi 17-8-1945,
muncul Dekrit Presiden 1959 yang intinya
berisi keputusan mengembalikan UUD 1945 dan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Lima tahun berikutnya, kekuasaan Soekarno selaku Presiden
dihentikan paksa yang konon karena Supersemar. Peristiwa ini masih menyisakan
beberapa pertanyaan besar dan luka teramat dalam bagi sebagian orang.
2.
Jendral Soeharto yang menjadi figur sentral
di masa Orde Baru berkuasa selama hampir empat dasawarsa cenderung narsistik.
“Gue banget” istilah popularnya. Sampai hal mendasar yakni Pancasila yang
menjadi dasar negara, filosofi ( core values ) bangsa dan pedoman hidup
bermasyarakat Indonesia tak luput dari hal itu. Muncul gerakan indoktrinasi
massal melalui P4, menina-bobokan dengan beragam subsidi, memisahkan dunia
pendidikan dari induknya (kebudayaan) yang menyebabkan proses erosi mental dan
moral kebangsaan secara sistemik. Dan yang sangat ekslusif adalah reinkarnasi
budaya feodalistik dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Pegawai Negeri
Sipil dan sejenisnya dikondisikan sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah),
bukan abdi negara. Tidak mengherankan jika perilaku para petinggi di
lingkungan pemerintah (dan dunia politik) cenderung menjadi penguasa. Bukan
pemimpin. Imbasnya tentu saja sampai ke lapisan terbawah. Praktik KKN adalah
wujud nyatanya.
3.
Periode terakhir yang dipopularkan dengan istilah
Orde Reformasi tak jauh berbeda dari dua fase perjalanan sejarah kebangsaan
sebelum itu. Kesan sebagai ajang “balas dendam” semakin hari kian menampakkan
diri secara telanjang. Dunia politik yang begitu diagungkan, banyak diisi oleh
para petualang yang enggan bersusah payah memahami konsep dasar kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diinginkan oleh para pendiri
Indonesia Merdeka. Partai tak pernah diusahakan secara bersungguh-sungguh
selaku “ pusat pendidikan politik “ masyarakat oleh para pengurusnya. Ia tak
lebih dari sekadar “ kendaraan menuju puncak kekuasaan”. Omong kosong untuk yang
memastikan adanya “basis politik”. Kalaupun ada, mereka adalah “kantong suara” yang setiap saat bisa bolong
karena minimnya pemeliharaan. Lebih khusus lagi, hal itu hanya terjadi dalam
partai tertentu yang memiliki kadar militansi tinggi.
Jelang
usia republik ini 67 tahun, beraneka upaya untuk memelihara cita-cita
kemerdekaan Bangsa Indonesia memang terus dan akan selalu dilakukan oleh
beragam kalangan dengan berbagai macam bentuk dan isinya. Tapi ada satu hal
penting yang selalu menjadi ganjalan yakni ketika upaya yang ingin diwujudkan
atau sedang diusahakan itu bermotif perebutan kekuasaan dalam segala bentuknya
kecuali di bidang kebudayaan. Karena budaya adalah representasi kehendak atas
keutamaan budi pekerti, tumbuh dari kesadaran hakiki dan berkembang dalam
ruang-ruang kalbu. Dalam dan sangat
luas. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar