Inspirasi pena tinta |
Pena memiliki dua bagian utama. Mata pena dan gagang pena. Dalam
posisi terbalik, mata pena ada di bagian atas dan gagangnya di bawah. Mata pena
kemudian dibentuk seperti tiara, mahkota bersusun tiga yang menggambarkan periodisasi
perjalanan pasukan pelajar ini. Periode pertama adalah ketika pasukan pelajar
ini bernama Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Bagian Pertahanan yang diwakili
dengan warna coklat gelap. Berikutnya adalah bagian yang menggambarkan posisi
pasukan pelajar sebagai bagian dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam
wadah Brigade XVII. Dan bagian terakhir yang berwarna hitam adalah periode
demobilisasi atau purna bakti. Semua anggota pasukan pelajar diberi pilihan
oleh Pemerintah untuk melanjutkan karir di lingkungan militer atau kembali ke
bangku sekolah dan kuliah sebagai manusia sipil.
Pada
gagang pena juga terdapat penggambaran situasi perjalanan bangsa Indonesia.
Yakni fase atau periode penjajahan yang berupa fondasi berkedalaman 0,5 m di
dalam tanah dan lantai dasar yang disimbolkan dengan warna hitam sebagai periode kegelapan. Di lantai yang
berbentuk segi empat berwarna dasar hitam dengan garis merah yang memisahkan
dua periode kegelapan yaitu periode penjajahan bangsa-bangsa Eropa dan periode
pendudukan asing pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai penyerahan
kembali kedaulatan pada akhir Desember 1949.
Penggagas, Agustinus Reksodihardjo tengah mengamati prasasti |
Bagian
gagang yang paling utama adalah berbentuk buku terbuka yang berwarna putih
bersih. Mewakili masa pencerahan pasca penjajahan asing. Buku adalah sumber
ilmu dan kebajikan. Di dalam buku yang terbuka, bangsa Indonesia semestinya
mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya sebagai bangsa yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur. Dengan “buku”, cakrawala pandang kita seharusnya
lebih terbuka sebagai bangsa yang maju dan beradab.
Prasasti Monumen Pena |
Jika
realita yang terjadi saat ini berbeda dari idealisme kemerdekaan Bangsa
Indonesia yang diperjuangkan dengan pengorbanan nyawa para syuhada, harta benda
penduduk, kekayaan alam dan keihlasan berjuang para penegak kemerdekaan; buku
sejarah tak salah. Karena kehidupan ini terus berjalan dan kesaksianlah yang
harus ditegakkan. Apakah kita yang hidup saat ini akan terus memelihara
kebodohan dengan cara suka mengasihani diri dan memperlakukan amanat
kemerdekaan bangsa berlalu tanpa makna ? Semua akan kembali ke dalam nurani dan
keyakinan pribadi masing-masing. Buku-buku sejarah adalah cermin. Hanya yang “buruk
muka” cermin itu menjadi terbelah.
0 komentar:
Posting Komentar