13/11/13

MONUMEN PENA (II)

Monumen Pena sebelum dicat warna warni 

Pasukan pelajar pejuang kemerdekaan Indonesia memiliki banyak sebutan. Tentara Pelajar (TP) dan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) adalah dua dari banyak sebutan bagi pelajar sekolah menengah di berbagai wilayah dan jurusan. Nama TP banyak dipakai di wilayah Jawa Tengah dan Barat. Sementara itu, TRIP khusus di Jawa Timur. Di Jawa Barat, namanya ditambah Siliwangi jadi TP Siliwangi dan di Solo dengan sebutan TP Solo atau TP Detasemen II.  Begitu juga yang ada di wilayah karesidenan Kedu dan Banyumas. 

Di Kedu ada dua wilayah, Utara dan Selatan. Karena itu ada dua nama, TP Kedu Utara dan Selatan. Sedangkan di wilayah Banyumas ada dua sebutan yang popular yaitu Mas TP dan IMAM (Indonesia Merdeka Atau (pilih) Mati). Di karesidenan Semarang dan sekitarnya ada sebutan TP SA/CSA (Student Army). Di sebagian wilayah Pulau Sumatera juga ada sebutan TP Sumatera. 

Dari berbagai nama kesatuan pelajar pejuang kemerdekaan itu awalnya adalah bernama Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Bagian Pertahanan. Yang tak kalah menarik adalah nama TGP (Tentara Genie Pelajar) yang semua anggotanya adalah pelajar Sekolah Menengah Teknik (dulu disebut ST, setara SMP) dan Sekolah Teknik Tinggi (setara STM/SMK sekarang). Mereka kebanyakan menangani tugas-tugas teknis : perbaikan/perawatan senjata, membuat jembatan darurat dan banyak tugas teknis lainnya. 

Sisi lain yang menarik dan khas adalah nama-nama pasukan pelajar yang anggotanya berasal dari luar Pulau Jawa. Persatuan Pelajar Indonesia - Sulawesi (PERPIS) adalah yang paling terkenal karena mereka bukan hanya berasal dari satu daerah atau pulau Sulawesi saja. Ada anggota Perpis yang berasal dari Sumatera Utara (Batak) semisal Willy Hutauruk atau Herman Fernandez dari Flores  yang gugur di Palagan Sidobunder, Kebumen. Ada juga yang berasal dari Kalimantan semisal Linus Djentamat yang menyelamatkan Juki, brendgun buatan Jepang bersama Djokowoerjo dari Jogja. Dengan kata lain, nama pasukan pelajar pejuang kemerdekaan tidak selalu identik dengan keterwakilan wilayah karena faktor mobilitas mereka sangat tinggi baik pada masa Perang Kemerdekaan I (1947) maupun II (1949). Seorang anggota TP Siliwangi bisa jadi bagian dari Mas TP Banyumas, TP Kedu Selatan atau TP Solo karena adanya pergerakan pasukan RI dari Jawa Barat ke kantong-kantong gerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikenal dengan istilah "longmarch". 

Keberadaan pasukan pelajar di Indonesia boleh disebut unik. Mereka membentuk dan mengorganisasi kekuatan internal IPI sebagai kekuatan tempur (kombatan) maupun kepalangmerahan (petugas kesehatan/relawan PMI). Di seluruh dunia, mungkin hanya IPI Bagian Pertahanan atau Tentara Pelajar yang dibentuk atas inisiatif sendiri. Di negara lain, termasuk Belanda, pasukan yang anggotanya berasal dari pelajar atau mahasiswa dipanggil sebagai wajib militer oleh negara atau pemerintahnya. Mengenai pembentukan pasukan pelajar ada di sini. 

***

Sepanjang usaha menelusuri jejak keberadaan dan pengoperasian Markas Darurat Tentara Pelajar di Front Barat, penulis mengalami banyak kendala teknis dan kultural. Kendala teknis mengemuka karena minimalnya bukti administratif seperti surat tugas dan sebagainya. Menurut penuturan penggagas Monumen Pena, almarhumah Atiatoen yang dikuatkan dengan tulisan pelaku Prof. Dr. Djokowoerjo, jejak utama markas darurat adalah keberadaan asrama yang kini bernama Gedung Pertemuan Prabasanti di kompleks Gereja Kristen Jawa di Jalan Pemuda No. 140 (ketika itu masih bernama Jalan Stasiun) Kebumen. Tetapi, dari aspek kultural, khususnya untuk nilai kejujuran penulis sangat menyakini cerita kedua pelaku yang sama-sama kokoh pendirian untuk tetap memelihara "isi" lebih bernilai dari pada bentuk formalitasnya. Apalagi bekas asrama ini masih dipertahankan sesuai dengan bentuk aslinya. Jadi, artefak budayanya menguatkan.

Nama atau sebutan Monumen Pena adalah pengembangan nilai intrinsik dan filosofi gagasan yang semula disebut Tetenger Rumah Perjuangan Tentara Pelajar Batalyon 300 Brigade XVII TNI pada Perang Kemerdekaan I - 1947 di Kebumen. Secara ringkas, gagasan membangun monumen ini berasal dari perbincangan sersan (serius tapi santai) dua sahabat yang berkumpul di dalam acara pemancangan tanda bambu runcing di makam Kartiko di Desa Panjer, Kebumen pada awal tahun 2002. Keduanya adalah Atiatoen dan Agustinus. Saat markas darurat beroperasi sekitar 3 (tiga) bulan sejak akhir Mei sampai awal (tanggal 5) September 1947, Atiatoen ditugaskan sebagai staf putri. Sementara itu, Agustinus adalah putra ke 7 Pendeta GKJ, Bapak Reksodihardjo yang meminjamkan rumah dinas kepanditaannya untuk kantor serta aula gereja sebagai asrama markas darurat. Kebetulan, Agustinus berteman akrab dengan kakak kandung Atiatoen yang bernama Affandi atau lebih akrab disebut dengan nama panggilannya : Pandi Gondek. Agustinu dan Pandi Gondek adalah anggota Tentara Pelajar di Markas Kebumen yang terletak di Kauman (sekarang jadi gedung SMP Muhammadiyah I di Jl. Kapt. P. Tendean Kebumen). 

Meski jadi anggota TP di Kebumen dan markas darurat berada di lingkungan rumah tinggal orang tuanya, Agustinus jarang sekali berkunjung ke asrama. Apalagi masuk kantor markas darurat. Kecuali jika Pandi Gondek memaksanya singgah untuk bertemu sang adik kandung atau teman seperjuangan yang dikenalnya. Di dalam keluarga Atiatoen, ada tiga orang yang aktif dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Selain mas Pandi dan dirinya, ada seorang kakak kandung Atiatoen yang menjadi petinggi militer di wilayah Kebumen saat itu yakni Achmad Dimjatie sejak awal kemerdekaan (ketika TNI masih bernama BKR - Badan Keamanan Rakyat  atau TKR - Tentara Keamanan Rakyat maupun ketika telah bernama TRI - Tentara Republik Indonesia serta TNI - Tentara Nasional Indonesia). Mas Dim, panggilan akrab Achmad Dimjatie, adalah komandan pasukan TRI saat terjadi pertempuran di desa Sidobunder yang menyebabkan gugurnya 24 orang anggota pasukan pelajar pejuang kemerdekaan (TP). Kesaksian ini pernah diucapkan oleh Anggoro selaku mantan komandan Seksi 320 TP Batalyon 300 dalam acara reuni Keluarga Besar Tentara Pelajar Kedu Selatan di Wisma Ganesha Purworejo tahun 1995.

Kepada penulis, pakde Dimjatie menuturkan cerita pergerakan pasukan pelajar di Front Barat. Beliau juga menguatkan kisah yang pernah diceritakan almarhuman Ibu Atiatoen kepada penulis tentang nama dan sosok seorang Linus Djentamat yang tinggi dan pendiam dari Kalimantan ketika dimintai tolong untuk memetik buah kelapa dan nangka di kebun belakang rumah keluarga untuk menu penghuni asrama markas darurat. Sayang sekali, ketika Bapak Alex Rumambi (almarhum) berkunjung ke rumah, penulis tak dapat menemui beliau karena tengah berada di luar kota. Singkat kata, secara kultural, sejarah keberadaan dan pengoperasian markas darurat dapat dipertanggung-jawabkan.  

Perubahan nama Tetenger menjadi Monumen Pena sebenarnya adalah usul penulis kepada penggagas (Ibu Atiatoen) setelah bentuk dasar bangunan selesai dirancang dan disetujui. Secara filosofi, satu bagian penting dari lambang Tentara Pelajar adalah pena bulu yang melukiskan dunia kependidikan adalah dasar utama keberadaan pasukan pelajar atau Tentara Pelajar. Namun bentuk pena yang dipilih adalah pena yang punya mata dan gagang kayu atau sejenisnya. Hasil guratan pena ini sangat tebal atau tegas, menggambarkan ketegasan sikap penggagas tentang kebenaran hakiki. 

Sumber inspirasi: pena tinta

Selain sisi simbobik di atas, keberadaan pasukan pelajar (pejuang kemerdekaan) telah menorehkan tinta emas dalam sejarah Bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaannya. Buku "Peran Pelajar dalam Perjuangan dan Pembangunan" yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah dan Tradisi TNI (1995) dengan segala kekurangannya menguatkan hal itu. Juga beragam karya purna bakti baik berupa monumen, wisma, lembaga pendidikan atau apapun bentuk serta skalanya. (bersambung)   

0 komentar:

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.