14/06/13

Gundahku..


"Kenapa kau menghujat ..kawan ?"
Karena aku perkasa, jawabnya.
"Apa yang membuat dirimu perkasa?"
Aku orang hebat, masih bersikukuh.
"Kehebatan seperti apakah yang kau punyai ?"
Aku lebih berani dibanding yang lain.
"Oohhhhhh... hanya itukah kehebatanmu?" 


Manusia adalah mahluk yang paling: mulia tapi juga hina, bahkan nista. Kemuliaan manusia ada pada perilakunya yang beradab. Adab itu batas maya antara manusia dengan mahluk lain, terutama binatang dan setan atau jin. Adab lebih dari sekadar sopan santun dan tradisi. Semakin kuat seseorang memahami dirinya sebagai pemimpin dunia, semakin kuat pula adab itu menjadi pegangan hidup. Begitu yang sebaliknya.

Dari dialog ilustratif di atas, sebenarnya dapat diukur seberapa kuatnya penjawab memahami peradaban manusia. Akhir-akhir ini banyak muncul orang yang merasa dirinya hebat atau sangat hebat (supermania) hanya karena ia merasa punya keberanian lebih dibanding yang lain meski pada dasarnya hal itu hanya sesuatu yang konyol. Pemberani berbeda seperti langit dan bumi dengan orang konyol. Pemberani berhitung risiko dan manfaat. Sedangkan orang konyol mungkin berhitung risiko dengan penekanan pada nyali (dorongan berani berbuat seperti binatang buas) tapi sering lupa berhitung manfaat. Dan orang hebat dalam berhitung manfaat tidak sekadar menghitung nilai atau harga. Ia akan menggali arti untuk mendapatkan makna dari manfaat itu.

Pada umumnya, manusia adalah pejuang. Arena yang dihadapi adalah kehidupan nyata di tengah masyarakat yang sangat majemuk. Dalam situasi normal, medan atau arena utama dan penting sekali ialah berusaha menyukupi hajat hidup atau bekerja, berkarya. Cukup menjadi kata kunci. Tidak kurang atau lebih. Pas, bukan nol atau kosong. Kata ini mengandung nilai relativitas yang sangat tinggi. Cukup bagi seseorang mungkin saja kurang atau justru berlebih bagi yang lain. 

Pejuang sejati tak pernah minta peng -"aku"-an. Ia atau mereka yakin selalu akan mendapat imbalan yang dapat diperoleh sepanjang hayat masih dikandung badan. Tetapi lebih yakin, imbalan itu akan diterima sebagai tabungan masa depan setelah kita meninggalkan hiruk pikuknya dunia. Pengakuan yang simbolistik itu  hanya sebuah asesori, pelengkap. Obyeknya adalah manfaat, lebih tepatnya maslahat.

Karena itu, predikat pahlawan kesiangan merupakan pengaburan makna dan merupakan ekspresi dari sebuah kekonyolan. Pahlawan atau hero adalah apresiasi atas tugas suci manusia sebagai pemimpin dunia yang dikenal dengan istilah suka rela atau ihlas. Dan pahala itu merupakan hak prerogatif Khalik, Sang Maha Pencipta atas segala sesuatu yang ada di jagat raya ini. Manusia hanya bisa berharap, tapi tak bisa memaksa karena memang tiada daya untuk itu. 

Bagi orang-orang yang menyatakan diri sebagai sukarelawan kemanusiaan, pengakuan bukan hal yang sangat mendasar. Itu merupakan sebagian sisi formal dalam proses interaktif dengan manusia lain selaku individu atau bagian masyarakat. Formalitas akan bergerak mengikuti dinamika. Yang perlu dijaga adalah suasana kehidupannya. Tentu dengan mengedepankan semua energi positif yang ada di dalam proses interaksi tadi. Dimulai dari sikap selalu berprasangka baik, berkerangka pikir membangun peradaban dan benar-benar berpegang pada kedudukan manusia yang sejatinya adalah pemimpin. 

Berpolitik dalam kerangka policy yakni bersikap bijak dalam menyikapi keadaan apapun akan lebih bermakna ketimbang sekadar berebut kuasa atau pengakuan. Dialektika yang perlu digarisbawahi adalah mengarahkan (sepenuh daya dan asa) agar proses interaktif senantiasa berada dalam kerangka memelihara kehidupan, bukan kematian. Apalagi mengenai nilai kemanusiaan yang sifatnya sangat kompleks dan kini tengah mengalami proses degradatif karena tingginya kadar kecenderungan meng-atas nama-kan pengakuan. Karena aku hanyalah bagian dari kami atau kita.

Melalui tulisan ini, saya sangat berharap agar segala pertemuan yang menyandang predikat kesuka-relaan dapat dipahami maknanya sebagai upaya mendudukkan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan posisi yang semestinya. PMI sebagai organisasi atau tepatnya perhimpunan  perlu dibangun sesuai posisi yang pas mengikuti budaya Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Yakni organisasi kemanusiaan yang dapat dipercaya oleh masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sendi-sendi kemandirian perlu diperkuat oleh semua bagian : pengurus, staf dan terutama para relawan. 

Membangun kemandirian organisasi di tengah menguatnya arus sektarianisme akhir-akhir ini bukan hal yang ringan. Terutama dalam manajemen sumber daya manusia. Perlu pemahaman yang sama tentang posisi masing-masing bagian organisasi. Mulai dari anggota selaku syarat wajib keberadaan suatu organisasi, pengurus dan staf yang menerima mandat atau kepercayaan dari anggota untuk menjalankan roda organisasi agar lebih banyak bergerak ke depan serta  relawan selaku motor organisasi.   

Saatnya kita berpikir jenih dan visioner dengan ide-ide serta karya-karya inovatif. Sepanjang masih terkungkung dalam suasana "remang-remang", PMI hanya akan menjadi obyek praktik sektarianisme entah berlabel politik, ekonomi dsb. Tak akan pernah mampu mencapai derajat penerima amanat kemanusiaan yang menjadi roh sekaligus identitas Gerakan. Dan kemandirian organisasi PMI bukan sekadar untuk bahan olok-olok yang menghabiskan energi positif (kecuali memang itu yang jadi tujuan). Tak penting lagi siapa aku, tapi apa yang mampu aku lakukan agar daya hidup terus terpelihara di PMI. Salam kemanusiaan. Siamo tutti frately. 


Selalu ada jalan yang lebih baik !

0 komentar:

Google Pagerank
totokaryantowirjosoemarto. Diberdayakan oleh Blogger.