Menjadi relawan kemanusiaan di berbagai bencana alam
maupun kemanusiaan adalah panggilan jiwa. Bukan karena surat tugas atau beragam
formalitas lainnya. Norma, etika dan kapasitas pribadi menguatkan dorongan
naluriah itu. Sikap ini acapkali menimbulkan salah paham dengan orang-orang
kantoran yang biasanya hanya tahu hal-hal formal dan menunggu instruksi. Karena
itu, pengalaman di masa lalu, para relawan “non formal” yang sering disebut
sebagai Tenaga Suka Rela (TSR) dan berasal dari kalangan profesional di PMI
sering mengalami perlakuan diskriminatif dari staf maupun pengurus PMI yang
kebanyakan diisi oleh para pejabat lokal.
Sehingga, para relawan profesional yang menyumbangkan tenaga, pikiran,
kemampuan pribadi dan akses sering merasa terasing di rumah sendiri.
Gempa DIY dan Jateng pada 27 Mei 2013 adalah
sebuah momentum penting dalam proses perjalanan kerelawanan TSR. Ketika semua
tengah bersiaga mengantisipasi erupsi
Gunung Merapi, gempa yang berkekuatan 5,9SR mengagetkan semua orang. Pada
saat kejadian, saya baru “turun gunung” sekitar 20 jam dari
lokasi TPA (Tempat Pengungsian Aman)
Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Dari kontak telepon selular
dengan teman di lokasi itu, saya mendapat kepastian bahwa letusan itu bukan
dari Gunung Merapi. Sambil memantau perkembangan di televisi, saya coba
melakukan kontak telepon PSTN ke Markas Cabang PMI Bantul setelah mendapat
informasi bahwa kejadian itu berasal dari gempa di pesisir Jogja. Petrus yang
menerima kontak, meminta bantuan obat, ambulan dan relawan segera. Saat itu jam
06.30-an dan tak ada kontak lagi karena semua jaringan telepon maupun radio
komunikasi 2 m-an yang frekuensinya dipinjami secara gratis oleh Lanal
(Landasan Angkatan Laut) Jogja lewat Pak Suryadi Melati 2 juga terputus. Sebagai rasa solidaritas dan tanggungjawab
kemanusiaan, saya laporkan isi kontak terakhir itu ke Markas Cabang PMI
Kebumen.
Ketemu mas Kusmantoro (kakak kandung) di Piyungan n tukar rompi sementara
Menunggu jawaban dari laporan ke institusi PMI perlu
waktu tidak sedikit. Sayapun mengambil inisiatif menghubungi beberapa teman
yang punya informasi seperti permintaan Petrus. Sekitar jam 9 pagi, kami
berhasil mengumpulkan sejumlah obat dan dua sepeda motor trail beserta
pengemudinya. Keduanya tak punya bekal
penanganan darurat dan pertolongan pertama. Tapi mereka sanggup
melaksanakan tugas. Setelah berdiskusi sebentar dengan beberapa TSR Kebumen
yang cukup paham jalur-jalur tikus ke arah Bantul, mereka berdua kami
berangkatkan dengan satu pesan. “Apapun
yang terjadi di jalan, prioritaskan ke Markas Cabang PMI Bantul dan temui
Petrus atau orang-orang yang ada di dalam daftar “ yang kami sertakan.
Rombongan relawan PMI Cab Kebumen berjumlah 8 orang,
diberangkatkan dengan satu mobil ambulans yang membawa peralatan dapur umum dan
pertolongan pertama (first aid kit) dilepas oleh Ketua
Bidang Humas yang juga seorang wartawan koran Suara Merdeka, Sdr, K. Wardopo (kini
Ketua PMI Kabupaten Kebumen) dengan upacara sangat sederhana jam 13.00 WIB.
Perjalanan sampai ke perbatasan Kabupaten Purworejo relatif lancar. Setelah itu
tersendat sampai ke Markas Cabang PMI Bantul sekitar jam 17.00 WIB dan
melaporkan kedatangan. Di sana sudah ada Pak Bambang Puspo yang menjabat Sekretaris PMI Kabupaten Bantul dan
telah saling mengenal cukup lama. Setelah berdiskusi kecil, kami dibagi menjadi
dua kelompok. Satu kelompok berjumlah 6 orang menyiapkan tenda-tenda
pengungsian. Saya dan M. Kamal
(sekarang Kepala Markas PMI Cabang Bantul) membantu kesekretariatan.
Tugas pertama adalah memberi penjelasan kepada
seseorang yang mengaku sebagai wakil sebuah partai politik yang sejak
kedatangannya membuat suasana kerja di ruang secretariat sangat terganggu. Dia
merasa sebagai wakil rakyat “berhak”
mendapat prioritas. Saya paham tugas ini sulit dilakukan oleh teman-teman dari
Bantul. Akhirnya, setelah saya jelaskan posisi PMI dalam situasi darurat
mengutamakan korban hidup dan tidak ada kaitan dengan kepentingan politik
maupun pemerintah, maka pilihan terakhir adalah mengusir ! Dengan nada
keras dan tegas saya katakan. “ Jika anda memaksa, mohon maaf..anda harus
keluar dari ruangan ini dengan atau tanpa paksaan. Kami diperbolehkan
melakukannya…dan lihat yang ada di lapangan belakang sana! Mereka yang harus
segera kami bantu, bukan anda…!”.
Setelah orang itu keluar dengan cara paksa, Sekretariat saya minta
ditutup sementara untuk menyiapkan ruang dan alat.
Ada peristiwa yang tak mungkin dapat saya lupakan di
hari pertama kejadian. Ketika dititipi
sejumlah tenda dan peralatan yang masih tebungkus rapi dalam kotak kayu dan
plastik bertuliskan Japan Red Cross, datang dua orang yang meminta saya untuk
menyerahkan barang-barang tadi. Saya ngotot minta surat tugas mereka. Merekapun
tak kalah “garang”. Akhirnya saya bilang, “Silakan anda bawa dokter Indonesia
yang anda kenal ke sini. Saya tunggu !”, mereka berlalu sambil menggerutu dalam
bahasa Jepang. Selang seperempat jam kemudian, mereka mengajak doker
Agus Zuliyanto dari PMI Banyumas yang oleh teman-teman dijuluki Dogil (doker gila, karena kelakukannya memang
gila-gilaan ). Setelah doker Agus meminta, saya melepas barang tersebut dengan
permintaan maaf. Mereka paham dan kami saling berpelukan. Dalam hati saya
bilang. “ rasain … enak amat ngaku-ngaku milikmu dan menganggap semua orang
Indonesia gampangan..? Enak aja……..buktikan dunk!”, sambil berlalu.
Kiri-kanan: dr. Agus-dr.Seno n Kepala RS Darurat + staf
Hari mulai gelap. Satu-satunya genset yang ada dan
bisa dipakai telah dibawa ke Rumah Sakit Darurat di Lapangan Dwi Windu belakang
markas. Di sana ada dua orang tenaga medis yang tengah menangani luka serius
pasien korban gempa. Kaki kanan dan lengan kirinya remuk. Entah yang ke berapa,
pasien itu meraung kesakitan. Saya bertanya kepada perawat yang mendampingi. Katanya,
tim medis kehabisan bius dan pasien yang harus ditangani tambah terus. Ini
pasien ke 30 yang ditangani satu dokter dan asistennya dari Jogja. Mereka
berdua berasal dari sebuah klinik swasta yang bangunannya hancur akibat gempa.
Semua pasien dan tenaga medis diungsikan di RS Darurat PMI ini. Kelalah nampak
sekali di wajah kedua tenaga medis itu. Terutama sang dokter yang usianya
sekitar 40an tahun. Ia adalah dokter pertama yang memprakarsai pendirian RS
Darurat (sebelum diganti nama menjadi Rumah Sakit Lapangan atau RSL yang dikelola bersama Departemen
Kesehatan Republik Indonesia) yang mulai beroperasi sejak siang hari dengan
tempat seadanya.
Ruang operasi adalah sebuah tenda seng (tarub/terop)
yang semula akan dipakai untuk tribun kehormatan turnamen sepak bola se Kab.
Bantul pada esok hari, 28 Mei 2005. Meja operasinya adalah deretan meja belajar
yang dipinjam dari sebuah SD di Selatan lapangan bola itu. Hanya dilandasi
karpet dan ruang itu juga dibatasi dengan karpet yang berbeda ketebalannya.
Benar-benar darurat dalam segala hal.
Ada yang hampir terlewati. Hari pertama sampai satu
minggu, listrik di Bantul secara umum padam. Komandan KSR PMI Bantul saat itu, Suwandi yang akrab dipanggil Wondo
dan beberapa teman tengah menyiapkan sambungan-sambungan kabel ke berbagai
titik. Tiba-tiba hujan turun sangat deras. Air seperti ditumpahkan dari langit.
Relawan terpecah konsentrasinya antara menerima bantuan kemanusiaan yang terus
mengalir, menyiapkan makan malam di dapur umum dan melakukan evakuasi korban
yang ada di tenda perawatan darurat. Untuk beberapa saat suasana sekitar lokasi
pengungsian dan RS Darurat PMI kacau.
Ada kepanikan yang cukup membuat repot para relawan
ketika air terus meninggi dan hampir menutup sisi paling atas jajaran kotak
kayu yang jadi lantai buat ruang rawat sementara pasien di bawah tenda.
Kepanikan bertambah dengan masuknya beberapa pengungsi yang mengendarai mobil ke
kawasan lapangan Dwi Windu di tengah arus evakuasi dan suasana gelap gulita.
Sebagian pasien yang tengah di ruang rawat sementara telah berhasil dievakuasi
ke tenda-tenda perawatan yang kondisinya lebih baik di atas lapangan tenis
sebelah Barat lapangan. Berkali-kali kami
beritahu lewat megaphone kalau lingkungan sekitar Lapangan Dwi Windu khusus
untuk menampung pasien dan aktivitas RS Darurat. Akhirnya, di tengah yang hujan
kian lebat, harapan melakukan evakuasi maksimal tercapai karena kesigapan
teman-teman relawan Satgana PMI yang terus berdatangan dari berbagai kota di
Pulau Jawa. Sekitar jam 9 malam hujan reda, saya kembali ke sekretariat
membantu penerimaan bantuan logistik. Satu diantara beberapa bagian yang
nantinya merupakan tantangan dan kisah tersendiri. Tubuh memang terasa sangat
lelah dan bersin-bersin. Tapi ada yang melintas di benak, saya bawa Bodrex
di tas pribadi sebagai antisipasi ketidak-pastian cuaca di lapangan. Cakup
satu dan terus maju, melangkah ke ladang pengambian pada kemanusiaan bersama
Bodrex.
Santai sejenak bersama Sudarti Bantul di depan gudang logistik
Tulisan ini juga ada di Kompasiana.
1 komentar:
Min, persyaratannya masih kurang ya... belum mencantumkan screen shoot bukti follow twitter @keluargabodrex, @VIVA_log dan like fanpage facebook keluarga bodrex..
Posting Komentar