Keprihatinan anak-anak negeri di mana pun atas situasi Indonesia
hari ini, mengutip Immanuel Kant, mencerminkan empirical apperception. Perasaan getir
warga bangsa melampaui apa yang dibayangkan kalangan elite. Maka, ketimbang
berharap kepada negara yang berpilin dengan ragam kompleksitas, inisiatif
berupa gerakan-gerakan kecil berkualitas, berdaya jangkau mondial, dapat
disodorkan sebagai alternatif keluar dari perangkap kejumudan struktural.
Kutipan tulisan Kordinator Forum Menjadi Indonesia, Suwidi Tono tentang dilema Diaspora Indonesia di atas adalah faktor pemicu saya untuk menelisik perjalanan gerakan mudik Indonesia terbesar di dunia menjadi serangkaian tulisan mengenai kehidupan, penghidupan dan beragam sisi menarik lainnya dari orang-orang yang memiliki keterkaitan batin dengan tanah air dan budaya Indonesia dari seluruh penjuru dunia. Gerakan mudik semacam ini menggapai sukses di RR Cina, India dan berbagai negara lainnya. Melalui tulisan ini, saya berharap ada pencerahan atas berbagai hal yang akan mengubah citra Indonesia di mata dunia. Karena gerakan ini lebih menyentuh sisi kemanusiaan dan budaya. Semoga.
Istilah Diaspora
Istilah diaspora, dalam situs Wikipedia ini, berasal dari bahasa Yunani kuno διασπορά, berarti penyebaran atau
penaburan benih. Ha ini digunakan (tanpa huruf besar) untuk merujuk kepada
bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran
mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena
penyebaran dan budaya mereka.
Mulanya, istilah Diaspora (dengan huruf besar) digunakan oleh
orang-orang Yunani untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang
bermigrasi ke wilayah jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan
wilayah itu ke dalam kerajaan.
Pada abad ke-20 khususnya telah terjadi krisis pengungsi etnis
besar-besaran, karena peperangan dan bangkitnya nasionalisme, fasisme, komunisme dan rasisme serta karena berbagai bencana alam
dan kehancuran ekonomi. Pada paruh pertama abad ke-20
ratusan juta orang terpaksa mengungsi di seluruh Eropa,
Asia, dan Afrika Utara. Banyak dari para pengungsi ini mampu bertahan hidup dari faktor kelaparan atau perang, kemudian pergi ke benua Amerika.
Diaspora Indonesia
Pergolakan politik
selalu menimbulkan korban, terutama pada orang-orang yang sama sekali tak
pernah tahu kepentingan yang ada di dalamnya. Pengiriman sejumlah mahasiswa di
negara-negara Eropa Timur oleh Presiden Soekarno sebagai upaya memajukan
kehidupan dan penghidupan bangsa pada tahun 1956 adalah satu diantaranya.
Gagasan Bung Karno itu diilhami oleh keberhasilan Jepang yang melakukan hal
serupa dan gemilang. Sementara itu, meletusnya peristiwa Gerakan
30 September 1965 (G 30 S) yang selama ini diidentifikasikan (cenderung
diindoktrinasikan) sebagai perbuatan kaum komunis lewat partai mereka (PKI)
menjadi penyebab utama sebagian mahasiswa dan ilmuwan tadi memutuskan tidak
kembali ke tanah air. Ada yang menetap di negara itu, ada juga yang menjadi
imigran di berbagai negara.
Hal serupa terjadi
pula pada peristiwa kerusuhan massa pada Mei – September 1998 di berbagai
tempat di Indonesia. Tak hanya di kota-kota besar: Jakarta, Surabaya dan Solo. Di kota kecil dan miskin seperti Kebumen mengalami hal serupa. Peristiwa kelam dalam sejarah peradaban manusia Indonesia modern tentu tak akan melupakan Tragedi Semanggi dan Trisakti yang menimbulkan korban jiwa dan harta
benda, sepertinya menjadi pengulangan atas peristiwa sejarah hitam pergolakan
elit politik seperti di masa kejatuhan Bung Karno sebagai Presiden RI dan Pemimpin Besar Revolusi. Jika di masa akhir pemerintahan Bung Karno yang “dituduh
sebagai dalang” adalah PKI dan Dewan Revolusi, peristiwa tragis 1998 tak pernah
jelas siapa dalangnya.
Ilustrasi di atas
menggambarkan betapa besar pengorbanan yang harus ditanggung oleh orang awam
untuk “membayar” sebuah perubahan peta politik di negeri ini. Para korban
pergolakan atau konflik politik yang terpaksa harus meninggalkan masa lalunya
di tanah kelahiran, Ibu Pertiwi Indonesia, dan masih memiliki perasaan
bertumpah darah Indonesia itu ada yang
masih berstatus WNI atau telah jadi WNA. Orang-orang itu biasa disebut dengan diaspora.
Satu diantaranya adalah artis kondang Taiwan kelahiran Bogor dan besar di
Jakarta, Margareth Wang. Ia terpaksa meninggalkan Indonesia di awal
peristiwa kerusuhan massa Mei 1998 di tengah santernya isu sentimen sosial
“anti China”.
Diaspora Indonesia difasilitasi kehadirannya oleh Dr.Dino Patti Djalal yang menjabat
sebagai Duta besar RI di Amerika Serikat. Gagasan menghadirkan diaspora
Indonesia dicatat sebagai peristiwa bersejarah bagi jutaan orang Indonesia yang
hidup di berbagai belahan dunia. Dalam berbagai proyeksi masa depan Indonesia di abad
ke-21, ada satu faktor yang sering luput dalam kalkulasi bangsa : diaspora
Indonesia. "Diaspora" disini merujuk pada semua orang di luar
negeri yang berdarah, berjiwa dan berbudaya Indonesia - baik yang masih WNI
maupun yang sudah menjadi WNA. Selama ini, belum ada pendekatan dan
atensi sistematis dari Indonesia terhadap kelompok diaspora ini. Yang pasti, jumlah
diaspora Indonesia jauh lebih banyak dari yang diperkirakan, dan jauh lebih
besar dari jumlah WNI di luar negeri yang tahun 2010 tercatat sekitar 3 juta
orang. Yang menarik, diaspora Indonesia - apakah WNI maupun WNA -
mempunyai brain power yang
luar biasa. Selama di AS, saya tak kunjung habis bertemu inovator,
entrepreneur, pelopor, edukator dari diaspora Indonesia. Karena itu,
"diaspora Indonesia" lebih dari sekedar perantau, namun suatu
komunitas besar yang padat ilmu, ide, modal dan jaringan. Saya
percaya, secara hitungan kasar, jumlah diaspora Indonesia paling tidak 2 kali
jumlah penduduk Singapura, dengan pendapatan per kapita 5 kali lipat per kapita
di Indonesia. Itulah penggalan Catatan Penggagas yang membuka cakrawala dan minat saya untuk menelisik lebih dalam apa, siapa dan bagaimana kiprah mereka. Begitu juga dengan pengklasifikasian identitas diaspora Indonesia yang menambah keyakinan atas potensi besar mereka.
Terlebih dengan munculnya Dekarasi Diaspora Indonesia yang muncul di akhir Kongres Diaspora Indonesia ( Congress of Indonesia Diaspora ) yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar RI di Los Angeles Amerika Serikat pada 6 - 8 Juli 2012 lampau. Isi deklarasi itu secara lengkap adalah sebagai berikut:
Deklarasi Diaspora
Indonesia
Kami diaspora
Indonesia.
Kami tersebar di
lima benua, terdiri dari warganegara Indonesia dan warga bangsa-bangsa dunia
yang berketurunan Indonesia.
Kami merupakan
komunitas-komunitas yang besar dan beragam dan terikat oleh tali hubungan dan
rasa kecintaan terhadap Indonesia.
Kami terdiri dari
para profesional, buruh, perawat, awak kapal, insinyur, arsitek, guru,
mahasiswa, politikus dan aktivitis, artis, wiraswasta, inovator, atlit, pemuka
agama, pemuda, ibu rumah tangga dan banyak lagi.
Kami berkumpul di
Los Angeles untuk menumbuhkan dan mengembangkan persaudaraan dengan diaspora
Indonesia di seluruh dunia, dan untuk menghubungkan sesama diaspora guna
memperbaharui dan memperkuat keterikatan dengan Indonesia.
Dengan ini kami
menyatakan:
Kami bertekad untuk
membangun sebuah komunitas global diaspora Indonesia. Untuk tujuan ini, kami
membentuk Network Diaspora Indonesia.
Kami bertekad untuk
bersinergi dengan Indonesia. Menjawab himbauan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono kepada Kongres, dan diperkuat oleh kehadiran anggota parlemen,
pemimpin masyarakat madani dan wiraswasta Indonesia, kami siap dan berkomitmen
untuk mengembangkan kemitraan dan kerjasama yang dinamis untuk kesejahteraan
bersama dengan Indonesia.
Kami berbesar hati
dengan kemajuan demokrasi, ekonomi, posisi internasional Indonesia dan budaya
Indonesia yang semakin men-dunia, dan kami percaya bahwa Indonesia akan
mengatasi tantangan yang masih ada, seperti memajukan kesejahteraan umum,
meningkatkan good governance, dan menegakkan hukum.
Kami menaruh
harapan tinggi pada masa depan cerah Indonesia yang penuh potensi, dan kami
terus percaya pada nilai-nilai Indonesia terbaik : toleransi dan harmoni,
bhineka tunggal ika, pluralisme, dan tradisi yang menghormati lingkungan.
Kami berpandangan
bahwa warisan nilai-nilai yang penuh kearifan ini perlu selalu dilestarikan
karena tanpa ini Indonesia akan kehilangan makna. Kami akan berupaya
keras untuk bersama-sama melestarikan nilai-nilai tersebut.
Kami meyakini bahwa
abad ke-21 akan menjadi abad terbaik untuk Indonesia.
Untuk memenuhi harapan ini, Indonesia harus percaya diri, adaftif, terbuka pada ide-ide baru, meritokratis, dan secara cerdas mengelola kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan warisan budayanya.
Untuk memenuhi harapan ini, Indonesia harus percaya diri, adaftif, terbuka pada ide-ide baru, meritokratis, dan secara cerdas mengelola kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan warisan budayanya.
Diaspora Indonesia
akan menjadi penghubung (HUB) untuk gagasan, solusi, sumber-daya dan jaringan
guna membangun kesejahteraan bersama, dan kami akan menjadi suatu
kekuatan untuk perdamaian dan kemajuan.
Kami akan
mempromosikan budaya Indonesia.
Kami akan
menyebarluaskan visi ini dan bekerjasama dengan komunitas diaspora Indonesia
lainnya, dan akan berupaya untuk terus tumbuh bersama dan membantu satu sama
lain.
Ini merupakan babak
baru bagi Indonesia, dan diaspora Indonesia.
Kami mengundang
semua diaspora Indonesia untuk maju bersama kami.
Los Angeles, 8 Juli 2012
Peirstiwa bersejarah
Banyak hal menarik dari sebuah deklarasi itu. Kepercayaan atas nilai-nilai terbaik Indonesia : harmoni, bhineka tunggal ika, tradisi yang menghormati lingkungan yang penuh kearifan ini perlu dilestarikan dengan makna. Nilai-nilai yang justru tengah mengalami degradasi maknawi di dalam negeri. Budaya sinis ( culture of cinism ) atas "nasib", kondisi aktual dan faktual Bangsa Indonesia yang sarat caci maki dan curiga karena dampak pertikaian elit politik yang tak pernah dewasa memahami kearifan itu. Persis seperti sinyalemen sastrawan Bambang Oeban yang diekspresikan dalam Sajak Tembang Negeri Jajahan. (bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar